Daurah An Naqib fi Mihwar Mu’assasy (Peran Naqib Dalam Kancah Politik)

Seperti yang kita pahami bahwa perubahan menuju perbaikan diri dan masyarakat melalui lembaga-lembaga strategis menjadi bagian dari kerja dakwah pada mihwar mu’assasi ini. Melalui pemberdayaan lembaga tersebut berikut instrumentnya dapat mengokohkan dakwah dan perluasannya.

Imam Hasan Al Banna dalam Muktamar Keenam menjelaskan tentang berbagai media dan sarana untuk menjadi wasilah bagi tegaknya dakwah: “Bahwa sarana dan cara yang kita pakai secara umum adalah memberikan kemantapan dan menyebarkan dakwah dengan berbagai sarana. Sehingga bisa mudah dipahami oleh masyarakat umum lalu menjadi opini publik. Kemudian menyeleksi pribadi-pribadi yang baik untuk menjadi pendukung dakwah yang kokoh. Juga perjuangan secara konstitusional agar dakwah ini memiliki suara di lembaga pemerintahan dan didukung oleh kekuatan eksekutif. Dengan dasar ini calon-calon ikhwah akan menjadi khatibul jamahiri dan apabila datang waktu yang tepat akan tampil mewakili umat di Parlemen. Percayalah akan pertolongan Allah SWT. selama tujuan kita adalah meraih keridhaan-Nya”.

Ini akan sangat membutuhkan peran dan potensi dari seluruh kader yang dapat digunakan sebagai mediator untuk mewujudkan amaliyah tersebut. Sehingga seluruh potensinya tidak ada yang nganggur. Bahkan bila demikian, tidak boleh ada kader yang tidak menjadi bagian dari kerja besar ini. Kader yang beragam perannya harus menjadi batu bata dari tugas ini. Salah satu peran yang sangat signifikan dalam mengusung tugas perubahan ini adalah peran naqib. Posisi dan perannya teramat penting. Karena naqib merupakan tulang punggung yang amat strategis dalam perjalanan tarbiyah ini. Ia menjadi simpul perubahan yang asasi. Minimal dalam komunitas terkecil di masyarakat ini melalui tarbiyah atau pembinaan kader.

Posisi dan peran inilah yang digerakkan generasi terdahulu untuk memperluas manuver dakwah demi perubahan masyarakat. Mereka menjadi titik tolaknya. Sebab pribadinya merupakan parameter perubahan. Komunitas suatu masyarakat akan mudah diarahkan bila parameternya jelas dan benar. Dapat menjadi cerminan dalam merealisasikan perubahan diri untuk selanjutnya menjadi perubah masyarakat. Karena itu Allah SWT. telah mengingatkan akan peran ini. Sebagaimana umat terdahulu yang menjadikan naqib sebagai munthalaqnya.

“Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari) Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin dan Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku beserta kamu, sesungguhnya jika kamu mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik sesungguhnya Aku akan menghapus dosa-dosamu. Dan sesungguhnya kamu akan Kumasukkan ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai. Maka barangsiapa yang kafir di antaramu sesudah itu, sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan yang lurus”. ( Al-Maidah: 12)

Demikian pula saat perjalanan dakwah Rasulullah SAW. di masa-masa pertumbuhan. Beliau mengangkat sahabat yang memiliki kapasitas untuk mengemban amanah dakwah ini menjadi naqib. Dari para naqib yang ditunjuk, umat dapat belajar dan berkoordinasi merefleksikan amal Islam sehari-hari. Mereka menjadi ukuran sejauh mana tingkat dan kualitas suatu masyarakat yang akan diajak kepada perubahan. Begitu pula saat orang-orang Madinah menjumpai Rasulullah SAW. kemudian beliau mengelompokannya lalu menetapkan pemimpinnya sebagai naqib yang menjadi pengarah bagi kabilahnya.

Ternyata peran naqib yang dijalankan oleh para sahabat Anshor itu dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Itu dapat terlihat pada antusiasme masyarakat Madinah yang menyambut seruan Islam dan mereka menjadi pengikut setia Nabi Sang Junjungan. Perkembangan ajaran Islam dan entitas muslim sangat pesat di sana. Sehingga mereka siap untuk menerima kedatangan Rasulullah SAW. sebagai pemimpin mereka di dunia dan di akhirat. Kemudian beliau membinanya hingga terjadilah perubahan budaya dan perabadan umat manusia di antara kegelapan perilaku insaniyah waktu itu.

Menjalankan peran naqib seperti kaum muslimin di masa lalu memang tidaklah semudah membicarakannya. Karena banyak unsur yang terkait. Namun kita tidak dibenarkan bersikap pesimis lantaran tidak mudahnya merealisasikan peran tersebut. Akan tetapi upaya untuk bisa mencontoh sedikit demi sedikit hingga akhirnya sempurna harus tetap terkobar. Dalam kaedah ushul fiqhpun disebutkan bahwa

Maala yudraku kulluhu la yutroku kulluhu

“bila tidak dapat menjangkau seluruhnya maka janganlah meninggalkan keseluruhannya”.

Oleh karena itu para naqib kiranya dapat memahami peran yang mampu dilaksanakan agar cita-cita yang didambakan dapat terwujud. Seperti kondisi yang pernah dibangun generasi masa lalu.

Adapun peran yang perlu dijalankan oleh para naqib untuk mencapai perubahan diri dan masyarakat pada mihwar mu’assasi ini diantaranya sebagai berikut:

A. Raf’u Mustawal Afrad (Meningkatkan level personal)

Sesungguhnya Allah SWT. telah menyerahkan urusan umat ini kepada naqib. Kemashlahatan mereka di hari ini dan masa mendatang merupakan amanah Allah yang harus ditunaikan. Naqib bertanggung jawab di hadapan Allah SWT. pada akhirat kelak.

Jika generasi hari ini adalah kekuatan bagi naqib maka generasi esok merupakan tanaman. Alangkah mulianya seseorang jika bersikap amanah, bertanggung jawab dan mau memikirkan binaannya. Sebagaimana yang diingatkan Rasulullah SAW.

“Bahwa setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawabannya”. (Bukhari dan Muslim).

Karena naqib sebagai murabbi dalam lingkaran pembinaannya maka meningkatkan level personal dalam pembinaannya ini menjadi peran yang mesti dijalankan dengan baik.

Pertama, Tahqiq Ma’any Tawazun yakni untuk merealisasikan aspek-aspek tawazun dalam diri kader yang dibinanya. Baik secara Ma’nawi, Nafsi dan Amaly. Sehingga kader yang dibinanya dapat mempresentasikan ajaran Islam yang syamil secara ruhani, pemikiran, jiwa dan amal dalam kesehariannya.

Kedua, Izharul Azmi, yaitu memunculkan azam yang kuat dan tawakkal pada Allah SWT. membuat mereka selalu memiliki tekad yang tak pernah kendur dalam memperjuangkan Islam.

Ketiga, Tarqiyatu as Syaja’ah wal Buthulah, adalah meningkatkan sifat syaja’ah dan kepahlawanan dalam diri mereka. Berani untuk menyatakan kebenaran dan patriotis dalam membelanya.

Keempat, Mas’uliyatud Da’wah yaitu memunculkan rasa mas’uliyyah (tanggungjawab) pada binaanya terhadap kerja da’wah agar medreka dapat menjadi pelopor dakwah sehingga dakwah berkesinambungan dan melahirkan generasinya yang lebih baik.

Sasaran utama untuk meningkatkan personal yang dibina oleh para naqib adalah untuk mempuyai sikap puas dan tenang pada manhaj dakwah dan structural. Sasaran inilah yang perlu diperhatikan oleh para naqib dalam menjalankan tugas mulianya ini. Dalam diri naqib hanya rasa cinta pada kader yang dibinanya agar selalu bisa lebih baik sehingga selalu gembira dan senang dalam menjalani tugasnya.

Imam Muhammad ibnu Ahmad yang dikenal dengan julukan Ibnu Razquwaih menyatakan pada murid-muridnya yang ia cintai. Karena ia ingin murid-murid lebih baik kualitas dan kepribadiannya dari yang kemarin. ‘Demi Allah, aku menyukai kehidupan di dunia bukan karena usaha dan bukan pula karena perniagaan, akan tetapi karena dzikir pada Allah bersama kalian dan membacakan hadits kepada kalian sehingga kalian lebih baik’.

Kiranya para naqib perlu merenungi ungkapan Sang Syeikh ini agar amanah ini dapat tertunaikan di pundak kita sehingga ia menjadi amal perberat timbangan kebaikan kita di akhirat nanti. Sekaligus mampu mengimplementasikan firman Allah SWT. bahwa pemimpin dan pengarah yang baik laksana pohon yang mengakar dan berdiri tegak memberikan buah yang tak pernah henti.

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka ruku` dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu’min). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar”. (Al Fath: 29)

B. Tathwir Qudrah Al Ahliyyah (Pengembangan kemampuan keahlian atau ekspert)

Begitu beratnya tugas naqib maka ia perlu meningkatkan kemampuan dirinya. Sehingga tugas-tugas tersebut dapat diselesaikan secara bertanggung jawab. Kemampuan itu adalah:

Pertama, Wudhuhut-tashawwur,

yakni memperoleh kejelasan wawasan dan pandangan tentang dakwah dan arah gerak dakwah pada mihwar mu’assasy ini sehingga naqib tidak bingung atau ragu dalam menjalankan tugas dakwahnya. Kejelasan wawasan juga dapat mengusir keragu-raguan sikap baik dirinya maupun orang lain.

Jiwa yang yakin akan dapat mempengaruhi orang lain pada fikrahnya terutama kader yang ia bina sehingga mereka berada dalam barisan dakwah di belakang naqibnya. Agar tidak ada lagi tasykik (keraguan) tentang langkah dakwah dan program yang sedang dicanangkan lalu dapat ikut terlibat di dalamnya.

Kedua, Tarqiyyatudz Dzaka’,

yaitu meningkatkan kecerdasan yang paripurna agar naqib dapat menjadi referensi dan rujukan masalah sekaligus mampu memberikan solusinya. Kecerdasan naqib selayaknya selalu meningkat dari hari perhari karena naqib sebagai orang yang akan mengarahkan binaannya. Naqib yang cerdas dapat memberikan nilai lebih pada binaannya sehingga muncul kepuasan tarbawi yang mereka ikuti.

Ketiga, Al Qudrah ‘alal Ibda’ wal ibtikar,

Yakni kemampuan kreasi dan inovasi. Dalam mengelola tarbiyah untuk ikut terlibat dalam kerja dakwah di mihwar mu’assasi ini naqib tidak boleh kehabisan kreasi apalgi mati kreasinya. Karena musuh-musuh dakwah pun penuh kreasinya. Untuk menandingi mereka tentu bukan dengan kemampuan material yang kita punya. Melainkan dengan mengembang kemampuan kreatifitas yang kita miliki. Kreatifitas yang hidup membuat peluang-peluang besar bagi dakwah dan pelakunya. Seorang punjangga memaparkan

“siapapun tidak akan mampu mematikan lawannya selama kreatifitas mereka tetap hidup”.

Keempat, Quwwatul Mubadarah Cepat tanggap terhadap sesuatu.

Naqib yang cepat tanggap mengindikasikan kepeduliannya amat besar. Baik tanggap terhadap siatuasi, para binaannya mapun tugas yang diamanahkan kepadanya.

Upaya ini untuk menjaga asset dakwah yang amat mahal. Ia menginginkan kebaikan dan keselamatan bagi kadernya.. kekuatan rasanya begitu besar sehingga ia ingin dapat memberikan hal lebih pada binaannya. Sebagaimana firman Allah SWT.:

“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu’min”. (At Taubah: 125)

Bila demikian -naqib meningkatkan kemampuan dan keahliannya- maka keahlian dan kafa’ahnya semakin kuat dan berarti. Hal ini akan sangat berguna untuk kelanggengan dakwah dan kekokohannya. Keahlian yang seperti itu amat diperlukan untuk menjadi pintu-pintu masuknya dakwah di seluruh elemen masyarakat saat ini. Sehingga instrument dalam masyarakat dapat menerima dan berhimpun didalamnya.

Keahlian apapun dalam ajaran Islam amat dihargai. Ia tidak boleh diabaikan atau melupakan kemampuan yang dimiliki seorang muslim. Apalagi hingga mencampakkan begitu saja keahliannya. Sang Nabi Junjungan telah mengingatkatkan,

“Barang siapa yang telah memiliki keahlian melempar kemudian melupakannya maka ia bukanlah golonganku”. (Muslim)

Naqib untuk merealisasikan perannya mesti menjaga cita-citanya agar selalu hidup. Sekalipun cita-cita itu belum terwujud pada saat menjalankannya. Sebab cita-cita tersebut kadang lebih cepat atau lambat. Seperti guratan seorang pujangga,

‘Peliharalah cita-citamu, karena sesungguhnya cita-citamu mendahului segala sesuatu. Barang siapa yang baik cita-citanya dan dia jujur padanya niscaya pekerjaan yang dilakukannya akan melahirkan hasil yang baik pula’.

Iqbalpun dalam untaian bait syairnya memaparkan,

‘Cita-cita orang yang merdeka dapat menghidupkan yang telah hancur, dan tiupan orang-orang yang bertaqwa dapat menghidupkan umat. Dan semua penyakit itu bersumber dari pudarnya cita-cita’.

Untaian syair tersebut mengumpamakan bahwa naqib sebagai nadinya kader dakwah ini. Oleh karena itu seyogyanya para naqib tetap menjaga kesehatan nadinya agar tidak pernah berhenti dan diam.

C. Tathwirul Qudrah At-Tanzhimiyyah (Pengembangan kemampuan struktural)

Naqib adalah amanah struktural karenanya ia menjadi orang yang terdepan dalam pengembangan struktural. Agar tidak mengalami ashirul marhalah dalam perjalanan dakwah ini maka naqib mesti memahami prasyarat untuk dapat menjalakan peran tersebut. Yaitu:

Pertama, Isti’abuts-Tsawabit wal mutaghayyirat.

Menguasai hal-hal yang permanent dan berubah-ubah pada jalan dakwah ini. Dari situ ia tahu mana-mana yang memang sudah baku dalam dakwah ini dan mana-mana yang berubah-ubah sesuai dengan situasi dan kondisinya sehingga dapat menggunakan kebijakan yang tepat untuk kepentingan dakwah.

Kedua, Al Qudrah ‘alat-takhthith at Tanzhimy, menguasai perencanaan struktural.

Perencanaan yang dipahami oleh naqib dapat mempermudah merealisasikannya serta mempercepat ke arah yang digariskannya. Karena naqib dapat melibatkan langsung kader-kadernya sebagai ujung tombak dakwah ini.

Ketiga, Al Qudrah ‘alat-ta’biah, kemampuan mengkoordinasikan elemen dakwah.

Keempat, Muhafazhah matanah at tanzhim, Membangun soliditas struktural.

Karena naqib, peran dan kedudukannya amat strategis dalam struktur dakwah ini diharapkan merekalah garda terdepan dalam menjaga soliditas struktural. Ia dapat mengarahkan kadernya akan kekeliruannya. Ia pun dapat meluruskan gossip internal yang berkembang. Ia pun dapat memberikan jawaban atas tuduhan dan fitnah yang dilontarkan pada struktur dari siapapun. Sehingga naqib amat berwenang untuk membina soliditas struktural terutama pada kader yang dikelolanya. Bahkan para naqib menjadi kekuatan komitmen pada dakwah ini.

Abul ‘Ala Al Maududi mengingatkan bahwa naqib merupakan amanah struktural yang harus mampu menjadi penggerak dakwah ini kepada seluruh lapisan masyarakatnya dengan mengerahkan seluruh potensinya. ‘Sangat ironis sekali bila orang-orang yang dianugerahi intelgensia yang unggul dari kalangan individu umat kita ini, tergila-gila meraih kedudukan duniawi dengan mencurahkan segenap kemampuannya tanpa kenal lelah sepanjang siang dan malam. Di bursa kerja mereka tidak mau menerima kecuali pihak yang mau menawar mereka dengan bayaran yang tinggi. Sedangkan keterlibatan mereka dengan dakwah ini tidak sampai pada tingkat mengorbankan kepentingan mereka untuk kepentingan dakwah, bahkan tidak pula sekedar mengorbankan jasa yang mereka miliki. Jika kalian berharap dengan mengandalkan pengorbanan yang mandul ini untuk dapat meraih kemenangan melawan orang-orang yang menimbulkan kerusakan di muka bumi ini yang rela mengorbankan jutaan uangnya setiap hari demi mencapai tujuan mereka yang batil maka harapan ini tiada lain hanyalah suatu tindakan yang bodoh’.

D. Tathwirul Qudrah Asy-Sya’biyah (Pengembangan kemampuan bermasyarakat)

Naqib juga bagian dari masyarakat. Karenanya ia harus dapat melakukan pengembangan kemampuan bermasyrakat. Karena masyarakat akan menjadi bagian dari kerja dan obyek dakwah pada mihwar ini. Masyarakat yang mendukung dakwah akan sangat mengokohkan eksistensi dakwah dan akhirnya dapat berdiri tegak. Maka naqib perlu menyadari akan perannya di tengah-tengah masyarakatnya. Yakni:

pertama, Bina al Ittishal as Sya’by, yaitu membangun hubungan dengan masyarakat.

Kedua, Mir’atul Ishlah lil mujtama’, yakni mampu tampil dan menjadi representasi dari masyarakat.

Ketiga, Tashawwurul ‘Am, Membangun public opinion.

Keempat, As Syakhshiyah Barizah, Mampu tampil sebagai pemimpin public.

Pada akhirnya naqib dapat membangun perubahan yang mendasar pada masyarakat. Dan dialah yang memulainya sehingga masyarakat dapat mencontohkan langsung.

Imam Hasan Al Banna mengingatkan seluruh kadernya untuk menjadi penggerak perubahan dan menjadi kekuatan yang hidup mengusung perbaikan dan kemashlahatan. Katanya, ‘Kita adalah ruh baru yang mengalir ke seluruh jasad umat umat ini’.

Wallahu ‘alam bishshawwab.

Tinggalkan komentar