DASAR-DASAR SYARIAH MARKETING

1.1       Dari Era Rasional ke Spiritual

Banyak yang mengatakan pasar syariah adalah pasar yang emosional (emotional market) sedangkan pasar konvensional adalah pasar yang rasional (rational market). Maksudnya orang tertarik untuk berbisnis pada pasar syariah karena alasan-alasan keagamaan (dlam hal ini agama Islam) yang lebih bersifat emosional, bukan karena ingin mendapatkan keuntungan financial yang bersifat rasional. Sebaliknya, pada pasar konvensional atau non-syariah, orang ingin mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, tanpa terlalu peduli apakah bisnis yang digelutinya tersebut mungkin menyimpang atau malah bertentangan dengan ajaran agama (Islam).

Seorang kiai yang juga pakar ekonomi syariah  dan anggotaDewan Pengawas Syariahdari beberapa bank dan asuransi syariah, K.H.Dr.Didin Hafidhudin mengatakan bahwa orang-orang yang ada dipasar syariah justru sebenarmnya sangat rasional dalam menentukan pilihan. Beliau juga mengatakan, orang yang berada dalam kategori pasar emosional biasanya lebih kritis, lebih teliti dan sangat cermat dalam membandingkan dengan bank atau asuransi konvensional yang selama ini digunakannya sebelum menentukan pilihannya ke pasar syariah. Beliau menambahkan, “Hitung-hitungan orang seperti ini malah bisa sampai ke hitung-hitungan amal akhirat” katanya.

Pernyataan ini ada benarnya melihat pendapat seorang praktisi perbankan syariah tentang dikotomo pasar emosional dan pasar rasional, Budi Wsakseno mengatakan, bahwa pemahaman dikotomi antara nasabah rasional dan nasabah emosional adalah keliru. Cara berpikir seperti itu, katanya, dilandasi oleh teori pemasaran konvensional yang berpaham sekuler; segala hal yang berlandaskan cara berpikir keagamaan serta-merta akan dianggap sebagai sesuatu yang tidak rasional.

Memang praktisi bisnis dan pemasaran sebenarnya bergeser dan mengalami transformasi dari level intelektual (rasional) ke emosional dan akhirnya ke pasar spiritual. Pada akhirnya konsumen akan mempertimbangkan kesesuaian produk dan jasa terhadap nilai-nilai spiritual yang diyakininya.

Dilevel Intelektual (rasional), pemasar menyikapi pemasaran secara fungsional-teknikal dengan menggunakan sejumlah tools pemasaran, seperti segmentasi, targeting, positioning, marketing-mix, branding dan sebagainya. Kemudian di level emosional, kemampuan pemasar dalam memahami emosi dan perasaan pelanggan menjadi penting. Disini pelanggan dilihat sebagia manusia seutuhnya, lengkap dengan emosi dan perasaannya.

Spiritual marketing merupakan tingkatan tertinggi. Orang tidak semata-mata menghitung untung atau rugi, tidak terpengaruh lagi dengan hal yang bersifat duniawi. Panggilan jiwalah yang mendorongnya, karena didalmnya terkandung nilai-nilai spiritual.

Selain itu dalam syariah marketing, bisnis yang disertai keikhlasan semata-mata hanya untuk mencari keridhaan Allah, maka seluruh bentuk transaksinya insya Allah menjadi ibadah dihadapan Allah. Ini akan menjadi bibit dan modal dasar baginya untuk tumbuh menjadi bisnis yang besar, yang memiliki spiritual brand, yang memiliki charisma, keunggulan, dan keunikan yang tak tertandingi. Seperti kata Al-Quran, “Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletaj didataran tinbggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu akan menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat.”

1.2       Spiritual Marketing sebagai Jiwa Bisnis

Stephen R. Covey penulis buku legendaris, The 7 Habit of Highly Effective People, di penghujung karirnya dia menerbitka buku baru, The 8th habit: From Effectiveness to Greatness, menyimpulkan bahwa factor spiritual merupakan kunci terakhir yang harus dimiliki seorang pemimpin dalam suatu perusahaan.Kita perlukan kepemimpinan spiritual dalam mengelola suatu bisnis, terlepas dari mana sumber spiritual tersebut.

Suatu bisnis, sekalipun bergerak dalam bisnis yang berhubungan dengan agama, jika tidak mampu memberikan kebahagaiaan kepada semua pihak, berarti belum melaksanakan spiritual marketing. Sebaliknya jika dalam berbisnis kita sudah mampu memberikan kebahagiaan, menjalankan kejujuran dan keadilan, sesungguhnya kita telah menjalankan spiritual marketing, apapun bidang yang kita geluti. Dalam bisnis travel haji misalnya, sekalipun mengurusi orang yang sedang menjalankan ibadah haji, jika dalam pengelolaannya terdapat penyimpangan-penyimpangandari segi fasilitas dan akomodasi setelah di Tanah Suci, tidak sesuai dengan yang dijanjikan dan dipromosikan sebelumnya, berarti sesungguhnya bisnis ini tidak berjalan dengan konsep bisnis syariah. Iapun belum menjalankan spiritual marketing.

1.3       Karakteristik Syariah Marketing

Kata “syariah” (al-syari’ah) telah ada dalam bahasa Arab sebelum turunnya Al-Quran. Kata yang semakna dengannya juga ada dalam Taurat dan Injil. Kata syari’at dalam bahasa Ibrani disebutkan sebanyak 200 kali, yang selalu mengisyaratkan pada makna “kehendak Tuhan yang diwahyukan sebagai wujud kekuasaan-Nya atas segala perbuatan manusia.”

Dalam Al-Quran kata syari’ah disebutkan hanya sekali dalam Surah Al-Jatsiyah, “Kemudian Kami Jadikan kamuberda didalam suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kalu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui” (QS Al-Jatsiyah: 18).

Kemudian kata itu muncul dalam bentuk kata kerja dan turunnya sebanyak tiga kali ;

Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan_Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa…” (QS As-Syura: 13)

Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan (syi’ah) dan jalan” (QS Al-Maidah:48).

Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menetuka (dari Alllah), tentulah merteka telah dibinasakan. Dan sesunggguhnya orang-orang yang zalim ituakan memperoleh azabyang amat pedih” (QS As-Syur: 21).

Kata syariah berasal dari kata syara’a al-syai’a yang berarti ‘menerangkan’ atau ‘menjelaskan sesuatu’. Atau berasal dari kata syir’ah dan syari’ah yang berarti ‘suatu tempat yang dijadikan sarana untuk mengambil air secara langsung sehingga orang yang mengambilnya tidal memerlukan bantuan alat lain’.

Syaikh Al-Qardhawi mengatakan, cakupan dari pengertian syariah menurut pandangan Islam sangatlah luas dan komprehensif (al-syumul). Didalamnya mengandung makna mengatur seluruh aspek kehidupan, mulai dari aspek ibadah (hubungan manusia dengan Tuhannya), aspek keluarga (seperti nikah, talak, nafkah, wasiat, warisan), aspek bisnis (perdagangan, industri, perbankan, asuransi, utang-piutang, pemasaran, hibah), aspek ekonomi (permodalan, zakat, bait, al-maf, fa’I, ghanimah), aspek hukum dan peradilan, aspek undang-undang hingga hubungan antar Negara.

Pemasaran sendiri adalah bentuk muamalah yang dibenarkan dalam Islam, sepanjang dalam segala proses transaksinya terpelihara dari hal-hal terlarang oleh ketentuan syariah.

Maka, syariah marketing adalah sebuah disiplin bisnis strategis yang mengarahkan proses penciptaan, penawaran dan perubahan value dari suatu inisiator kepada stakeholders-nya, yang dalam keseluruhan prosesnya sesuai dengan akad danprinsip-prinsip muamalah (bisnis) dalam Islam.

Ini artinya bahwa dalam syariah marketing, seluruh proses, baik proses penciptaan, proses penawaran, maupun proses perubahan nilai (value), tidak boleh ada hal-hal yang bertentangan dengan akad dan prinsip-prinsip muamalah yang Islami. Sepanjang hal tersebut dapat dijamin, dan penyimoangan prinsip-prinsip muamalah islami tidak terjadi dalam suatu transaksi apapun dalam pemasaran dapat dibolehkan.

Ada 4 karakteristik syariah marketingyang dapat menjadi panduan bagi para pemasar sebagai berikut:

  1. Teistis (rabbaniyyah) : jiwa seorang syariah marketer meyakini bahwa hokum-hukum syariat yang teistis atau bersifat ketuhanan ini adalah yang paling adil, paling sempurna, paling selaras dengan segala bentuk kebaikan, paling dapat mencegah segala bentuk kerusakan, paling mampu mewujudkan kebenaran, memusnahkan kebatilan dan menyebarluaskan kemaslahatan.
  2. Etis (akhlaqiyyah) : Keistimewaan lain dari syariah marketer selain karena teistis (rabbaniyyah) juga karena ia sangat mengedepankan masalah akhlak (moral, etika) dalam seluruh aspek kegiatannya, karena nilai-nilai moral dan etika adalah nilai yang bersifat universalo, yang diajarkan oleh semua agama.
  3. Realistis (al-waqiyyah) : syariah marketer adalah konsep pemasaran yang fleksibel, sebagaimana keluasan dan keluwesan syariah islamiyah yang melandasinya. Syariah marketer adalah para pemasar professional dengan penampilan yang bersih, rapid an bersahaja, apapun model atau gaya berpakaian yang dikenakannya, bekerja dengan mengedepankan nilai-nilai religius, kesalehan, aspek moral dan kejujuran dalan segala aktivitas pemasarannya.
  4. Humanistis (insaniyyah) : keistimewaan syariah marketer yang lain adalah sifatnya yang humanistis universal, yaitu bahwa syariah diciptakan untuk manusia agar derajatnya terangkat, sifat kemanusiaannya terjaga dan terpelihara, serta sifat-sifat kehewanannya dapat terkekang dengan panduan syariah. Syariat islam diciptakan untuk manusia sesuai dengan kapasitasnya tanpa menghiraukan ras, warna kulit, kebangsaan dan status.Hal inilah yang membuat syariah memiliki sifat universal sehingga menjadi syariah humanistis universal.
  1. IMPLEMENTASI SYARIAH MARKETING

2.1       Berbisnis Cara Nabi Muhammad Saw

Muhammad adalah Rasulullah, Nabi terakhir yang diturunkan untuk menyempurnakan ajaran-ajaran Tuhan yang menjadi suri tauladan umat-Nya. Akan tetapi disisi lain Nabi Muhammad Saw juga manusia biasa; beliau makan, minum, berkeluarga dan bertetangga, berbisnis dan berpolitik, serta sekaligus memimpin umat.

Aa Gym dalam salah satu tulisannya, mengatakan bahwa Nabi Muhammad Saw, selain sebagai pedagang yang sukses juga pemimpin agama sekaligus kepala Negara yang sukses. Jarang ada nabi seperti ini.Ada yang hanya sukses memimpin agama, tetapi tidak memimpin sebuah Negara. Maka, sebenarnya kita sudah menemukan figure yang layak dijadikan idola, dan dijadikan contoh dalam mengarungi dunia bisnis.

Nabi Muhammad sebagi seorang pedagang memnberikan contoh yang baik dalam setiap transaksi bisnisnya. Beliau melakukan transaksi secara jujur, adil dan tidak pernah membuat pelanggannya mengeluh, apalagi kecewa.Beliau selalu menepati janji dan mengantarkan barang dagangannya dengan standar kualitas sesuai denganpermintaan pelanggan. Reputasinya sebagai pedagang yang benar dan jujur telah tertanam dengan baik sejak muda. Beliau selalu  memperlihatkan rasa tanggung jawab terhadap setiap transaksi yang dilakukan.

2.2       Muhammad sebagai Syariah Marketer   

Muhammad buka saja sebagai seorang pedagang, beliau adalah seorang nabi dengan segala kebesaran dan kemuliannya. Nabi Muhammad sangat menganjurkan umatnya berbisnis (berdagang), karena berbisnis dapat menimbulkan kemandirian dan kesejahteraan bagi keluarga tanpa tergantung atau menjadi beban orang lain. Beliau pernah betkata, “Berdaganglah kamu, sebab dari sepuluh bagian penghidupan, sembilan diantaranya dihasilkan dari berdagang.” Al-Quran juga memberi motivasi untuk berbisnis pada ayat berikut:

“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu.” (QS Al-Baqarah : 198)

“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS Al-Baqarah : 275)

2.3       Muhammad sebagai Pedagang Profesional  

Dalam transaksi bisnisnya sebagai pedagang professional tidak ada tawar menawar dan pertengkaran antara Muhammad dan para pelanggannya, sebagaimana sering disaksikan pada waktu itudi pasar-pasar sepanjang jazirah Arab. Segala permasalahan antara Muhammad dengan pelanggannya selalu diselesaikan dengan adil dan jujur, tetapi bahkan tetap meletakkan prinsip-prinsip dasar untuk hubungan dagang yang adil dan jujur tersebut.

Disini terlihat bahwa beliau tidak hanya bekerja secara professional, tetapi sikap profesionalisme beliau praktikkan pula ketika telah dilantik menjadi Nabi.Beliau memimpin sahabat-sahabatnya dengan prinsip-prinsip profesionalisme; memberinya tugas sesuai dengan kemampuan dan kapasitas yang dimiliki. Tidak bersifat KKN, semuanya berjalan dengan professional dan tentunya dengan tuntunan Allah.

2.4       Muhammad sebagai Pebisnis yang Jujur

Muhammad benar-benar mengikuti prinsip-prinsip perdagangan yang adil dalam transaksi-transaksinya.Beliau telah mengikis habis transaksi-transaksi dagang dari segala macam praktik yang mengandung unsur penipuan, riba, judi, gharar, keraguan, eksploitasi, pengambilan untung yang berlebihan dan pasar gelap. Beliau juga melakukan standardisasi timbangan dan ukuran, serta melarang orang-orang menggunakan timbangan dan ukuran lain yang tidak dapat dijadikan pegangan standar.

Nabi Muhammad juga mengatakan, “pedagang, pada hari kebangkitan akan dibangkitkan sebagai pelaku kejahatan, kecuali mereka yang bertakwa kepada Allah, jujur, dan selalu berkata benar” (HR Al Tirmidzi, Ibn Majah, dan Al Darimi).

2.5       Muhammad Menghindari Bisnis Haram

Nabi Muhammad melarang beberapa jenis perdagangan , baik karena sistemnya maupun karena ada unsur-unsur yang diharamkan didalamnya. Memperjual-belikan benda-benda yang dilarang dalam Al-Quran adalah haram. AlQuran, misalnya, melarang mengkonsumsi daging babi, darah, bangkai dan alcohol, sebagaimana yang tercantum dalam QS Al-Baqarah:175).

2.6       Muhammad dengan Penghasilan Halal

“Barang yang bersih” berarti sehat dan diperoleh dengan cara yang halal. Karena itu apa yang dihasilkannya pun menjadi halal.

2.7       Sembilan Etika (Akhlak) Pemasar

Ada sembilan etika pemasar, yang akan menjadi prinsip-prinsip bagi syariah marketer dalam menjalankan fungi-fungsi pemasaran, yaitu:

  1. Memiliki kepribadian spiritual (takwa)
  2. Berprilaku bail dan simpatik (Shidq)
  3. Berprilaku adil dalam bisnis (Al-Adl)
  4. Bersikap melayani dan rendah hati (Khidmah)
  5. Menepati janji dan tidak curang
  6. Jujur dan terpercaya (Al- Amanah)
  7. Tidak suka berburuk sangka (Su’uzh-zhann)
  8. Tidak suka menjelek-jelekkan (Ghibah)
  9. Tidak melakukan sogok (Riswah)
  1. MEMBANGUN BISNIS DENGAN NILAI-NILAI SYARIAH

Sifat jujur adalah merupakan sifat para nabi dan rasul yang diturunkan Allah Swt. Nabi dan rasul datang dengan metode (syariah) yang bermacam-macam, tetapi sama-sama menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran.

Ulama terkemuka abad ini Syaikh Al-Qardhawi mengatakan, diantara nilai transaksi yang terpenting dalam bisnis adalah al-amanah (kejujuran). Ia merupakan puncak moralitas iman dan karakteristik yang paling menonjol dari orang yang beriman. Bahkan kejujuran merupakan karakteristik para nabi. Tanpa kejujuran kehidupan agama tidak akan berdiri tegak dan kehidupan dunia tidak akan berjalan baik.

Ada empat hal yang menjadi key success factors (KSF) dalam mengelola    suatu bisnis, agar mendapat celupan nilai-nilai moral yang tinggi. Untuk memudahkan mengingat, kita singkat dengan SAFT, yaitu:

  1. Shiddiq (benar dan jujur) : jika seorang pemimpin senantiasa berprilaku benar dan jujur dalam sepanjang kepemimpinannya, jika seorang pemasarsifat shiddiq haruslah menjiwai seluruh prilakunya dalam melakukan pemasaran, dalam berhubungan dengan pelanggan, dalam bertransaksi dengan nasabah, dan dalam membuat perjanjian dengan mitra bisnisnya.
  2. Amanah (terpercaya, kredibel) : artinya, dapat dipercaya, bertanggung jawab, dan kredibel, juga bermakna keinginan untuk untuk memenuhi sesuatu sesuai dengan ketentuan. Diantara nilai yang terkait dengan kejujuran dan melengkapinya adalah amanah.
  3. Fathanah (cerdas) : dapat diartikan sebagai intelektual, kecerdikan atau kebijaksanaan. Pemimpin yang fathanah adalah pemimpin yang memahami, mengerti dan menghayati secara mendalam segala hal yang menjadi tugas dan kewajibannya.
  4. Thabligh (komunikatif) : artinya komunikatif dan argumentatif. Orang yang memiliki sifat ini akan menyampaikannya denga benar (berbobota0 dan dengan tutur kata yang tepat (bi al-hikmah). Berbicara dengan orang lain dengan sesuatu yang mudah dipahaminya, berdiskusi dan melakukan presentasi bisnis dengan bahsa yang mudah dipahami sehingga orang tersebut mudah memahami pesan bisnis yang ingin kita sampaikan.

Keempat KSF ini merupakan sifat-sifat Nabi Muhammad Saw yang sudah  sangat dikenal tapi masih jarang diimplementasikan khususnya dalam dunia bisnis.

  1. PEMASARAN DALAM PERSPEKTIF SYARIAH

4.1    Sekilas tentang Sustainable Marketing Enterprise (SME)

Ketertarikan untuk membahas syariah marketing ini adalah karena adanya perubahan lanskap perekonomian dunia. Selama puluhan tahun, dunia hanya mengenal system ekonomi kapitalisme. Namun pada akhir 1970-an dan wal 1980-an, system ekonomi Islam atau yang dikenal juga sebagi system ekonomi syariah mulai bermunculan di Negara-negara Timur Tengah.

Dalam model SME, konsep pemasaran disini tidaklah berarti pemasaran sebagi sebuah fungsiatau departemen dalam perusahaan, tetapi bagaimana kita bisa melihat pasar secara kreatif dan inovatif. Pemasaran bukanlah hanya seperti anggapan orang, yaitu study untuk menjual. Atau seperti yang dipahami beberapa kalangan hanyalah marketing mix semata, yaitu pembuatan strategi untuk produk (product), harga (price), tempat (place) atau promosi (promotion). Namun pengertian terhadap pemasaran itui sendiri cakupannya lebih luas. Pemasaran saya definisikan sebagai sebuah disiplin bisnis strategis yang mengarahkan proses penciptaan, penawaran, dan perubahan values dari satu inisiator kepada stakeholdersnya. Seperti yang saya tukis dalam buku Rethinking Marketing : Sustainable Marketing Enterprise in Asia, inspirasi menyangkut sebuah mimpi (dream), kultur menyangkut keptribadian (personality), dan institusi menyangkut aktivitas (activity). Nah agar sukses kita harus mempunyai impian yang akan menjadi driver dan konsisten dalam melakukan aktivitas.

Ada 17 prinsip syariah marketing sebagai berikut:

Prinsip 1  : Information Technology Allows Us to be Transparent

(change)

Prinsip 2  : Be Respectful to your Competitors (Competitor)

Prinsip 3  : The Emergence of Customers Global Paradox (Cuctomer)

Prinsip 4  : Develop A Spiritual-Based Organization (Company)

Prinsip 5  : View Market Universally (Segmentation)

Prinsip 6  : Target Costumer’s Heart and Soul (Targeting)

Prinsip 7  : Build A Belief System (Positioning)

Prinsip 8 : Differ Yourself with A Good Package of Content and Context

(Differentiation)

Prinsip 9  : Be Honest with Your 4 Ps (Marketing-mix)

Prinsip 10 : Practice A Relationship-based Selling (Selling)

Prinsip 11 : Use A spiritual Barand Character (Brand)

Prinsip 12 : Services Should Have the Ability to Transform (Service)

Prinsip 13 : Practice A reliable Business Process (Process)

Prinsip 14 : Create Value to Your Stakeholders (Scorecard)

Prinsip 15 : Create A Noble Cause (Inspiration)

Prinsip 16 : Develop An Ethical Corporate Culture (Culture)

Prinsip 17 : Measurement Must Be Clear and Transparent (Institution)

Ketujuh belas prinsip tersebut dibuat berdasarkan pengamatan penulis terhadap peran pemasaran untuk pasar syariah.

Keempat prinsip pertama menjelaskan lanskap bisnis syariah (4C-Diamond) yang terdiri dari change, competitor, customer dan company. Ketiga elemen utama adalah elemen utama dari lanskap bisnis, sedangkan factor terakhitr, company adalah berbagai factor internal yang penting dalam proses pembuatan strategi.

Sembilan prinsip berikutnya (prinsip 5 – prinsip13) menerangkan sembilan elemen dari Arsitektur Bisnis Strategis. Yang dibagi menjadi tiga paradigma, yaitu:

– Syariah Marketing Strategy untuk memenangkan mind-share,

– Syariah Marketing Tactic unutuk memenangkan market-share, dan

– Syariah Marketing Value untuk memenangkan heart –share.

Dalam syariah marketing strategy yang pertama harus dilakukan dalam mengeksplorasi pasar. Besarnya ukuran pasar (market size), pertumbuhan pasar (market growth),, keungguklan kompetitif (competitive advantages) dan situasi persaingan (competitive situation).

Setelah menyusun strategi, kita harus menyusun taktik untuk memenangkan market-share yang disebut Syariah Marketing Tactic. Pertama-tama, setelah mempunyai positiong yang jelas di benak masyarakat, perusahaan harus membedakan diri dari perusahaan lain yang sejenis. Untuk itu diperlukan differensiasi sebagai core tactic dalam segi content (apa yang ditawarkan), context (bagaimana menawarkannya) dan infrastruktur (yang mencakup karyawan, faslitas dan teknologi). Kemudian menerapkan differensiasi secara kreatif pada marketing mix (product, price, place, promotion). Karena itu marketing-mix disebut sebagai creation tactic. Walaupun bergitu selling yang memegang peranan penting sebagai capture tactic juga harus diperhatikan karena merupakan elemen penting yang berhubungan dengan kegiatan transaksi dan langsung mampu menghasilkan pendapatan.

Dalam Syariah Marketing Value, bahwa strategi dan taktik yang sudah dirancang dengan penuh perhitungan tidaklah berjalan dengan baik bila tidak disertai dengan value dari produk atau jasa yang ditawarkan. Pelanggan biasanya mementingkan manfaat atau value apa yang didapat jika ia diharuskan berkorban sekian rupiah. Untuk itu, membangun value preposition bagi produk atau jasa kita sangatlah penting.

Rumusan value preposition ini adalah sebagai berikut :

Value preposition =

Total Get              Functional Benefit (Fb)+Emotional Benefit (Eb)

Total Give            Price (P) + Other Expenses (Oe)

Pada dasarnya terdapat lima generic value strategy :

  1. “More for more”
  2. “More for same”
  3. “More for less”
  4. “Same for less”
  5. “Less for less”
  • “More for more” adalah formula value yang menawarkan total get (Fb+Eb) dan total give (P+Oe) yang lebih tinggi dibandingkan value yang ditawarkan pesaing.
  • “More for same” menawarkan total get yang lebih tinggi dan total give yang sama
  • “More for less” menawarkan total get yang lebih tinggi dan total give yang lebih rendah
  • “Same for less” menawarkan total get yang samadan total give yang lebih rendah
  • “Less for less” menawarkan total get dan total give yang lebih rendah dibandingkan pesaing.

Prinsip selanjutnya, Prinsip 14, menjelaskan Syariah Scored yang bermakna bahwa anda harus terus menerus menyeimbangkan proposisi-proposisi nilai anda yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah tadi kepada tiga stakeholders utama yaitu karyawan (people), pelanggan (customer), dan pemegang saham (share-holders). Itulah maka penulis menyebutkan PCS-Circle.

Kemudian tiga prinsip terakhir (prinsip 15 sampai prinsip 17) adalah prinsip-prinsip yang membahas tentang inspirasi (inspiration), Buday (culture), dan institusi (institution. Ketiganya disebut sebagai Syariah Enterprise. Inspirasi menyangkut impian: sebuah perusahaan harus memiliki sebuah impian yang akan memberikan inspiras, membimbing dan merangsang semua orang yang ada didalamnya. Budaya menyangkut kepribadian; sebuah perusahaan harus memiliki kepribadian yang kuat, yang memberikan “perekat”yang menyatukan organisasi itu pada saat tumbuh dan berkembang. Akhirnya, institusi adalah tentang aktivitas: sebuah perusahaan harus mampu mengelola aktivitas-aktivitasnya dengan efisien dan efektif untuk merealisasikan visi serta sasaran-sasarannya.

Tentu saja, ketiga elemen Syariah Enterprise ini juga harus berlandaskan nilai-nilai syariah. Sebuah perusahaan tidaklah bisa memiliki inspirasi untuk menjadi economic animal semata tanpa peduli nilai-nilai lingkungan dan pemberdayaan komunitas disekitarnya. Budaya perusahaanpun harus dilandasi syariah; dengan menerapkan nilai-nilai luhur yang mesti dianut setiap karyawannya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

             

 

Perang Dzat ar-Riqa’ (Tahun Ke-4 H)

Setelah pengusiran Bani an-Nadhir, Rasulullah menetap di Madinah selama bulan Rabi’ul Akhir dan sebagian Jumadil Ula. Setelah itu beliau berangkat ke Nejed untuk menyerang Bani Muharib dan Bani Tsa’labah dan Ghathafan.

Beliau menunjuk Abu Dzar al-Ghifary sebagai imam sementara di Madinah. Rasulullah berjalan hingga tiba di Nakhl [Nama sebuah tempat di Nejed di wilayah Athfaan] . Di sanalah terjadi perang Dzat ar-Riqa’ [Disebut Dzat ar-Riqa’ karena mereka mengoyak bendera mereka. Ada yang mengatakan bahwa Dzaatur Riqa’ adalah nama sebuah pohon di sana. Ada pula yang mengatakan disebut Dzat Riqa’ karena batu-batuan mengoyak tapak kaki mereka, sehingga koyak, lalu disebut dengan Dzat Riqa’] . Maka bertemulah dua pasukan besar. Kedua belah pihak saling mendekat, namun tidak terjadi pertem-puran antara keduanya, karena masing-masing pihak merasa takut, hingga Rasulullah mengerjakan shalat Khauf bersama para sahabat.

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah RA., ia berkata, “Aku keluar bersama Rasulullah pada perang Dzat ar-Riqa’, dari Nakhl dengan mengendarai seekor unta yang lemah. Ketika Rasulullah kembali dari perang Dzat ar-Riqa’, teman-temanku dapat berjalan dengan lancar, sementara aku tertinggal di belakang hingga beliau menyusulku. Beliau bersabda kepadaku, “Apa yang terjadi denganmu, wahai Jabir.?” Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, untaku berjalan sangat pelan.” Beliau bersabda, “Suruh ia duduk!” Aku mendudukkan untaku dan beliau juga mendudukkan untanya. Setelah itu beliau bersabda, “Berikan tongkatmu kepadaku!” Atau beliau bersabda: “Potongkan sebuah tongkat untukku dari pohon itu.”

Lalu aku pun mengerjakan perintah Rasulullah SAW., dan beliau mengambil tongkat yang dimintanya. Beliau menusuk lambung untaku beberapa kali kemudian bersabda, “Naikilah untamu!” Aku segera menaikinya.

Demi Allah yang mengutus beliau dengan membawa kebenaran, untaku mampu menyalip unta beliau. Kami bercakap-cakap, kemudian beliau bersabda, “Wahai Jabir, apakah engkau bersedia menjual untamu kepadaku?” Aku menjawab, “Tidak wahai Rasulullah, namun aku akan menghibahkannya kepadamu.” Beliau bersabda, “Juallah untamu ini kepadaku!” Aku menjawab, “Kalau begitu, hargailah untaku ini.!” Beliau bersabda, “Bagaimana kalau satu dirham.?” Aku menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah, kalau harganya seperti itu, engkau merugikanku.” Beliau bersabda, “Dua dirham.?” Aku menjawab, “Aku tidak mau seharga itu, wahai Rasulullah.”

Beliau terus menaikkan penawaran hingga harga unta itu mencapai satu uqiyah. Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau ridha dengan harga itu.?” Beliau menjawab, “Ya.” Aku berkata: “Kalau begitu unta ini menjadi milikmu.” “Ya, aku telah terima” jawab beliau lalu bersabda, “Wahai Jabir, apakah engkau sudah menikah.?” “Sudah, wahai Rasulullah,” Jawabku. Beliau bertanya, “Dengan gadis ataukah janda.?” “Dengan janda,” Jawabku. Beliau bersabda, “Kenapa engkau tidak menikahi seorang gadis hingga engkau bisa bercanda dengannya dan ia bisa bercanda denganmu.?” Aku menjawab, “Ayahku gugur di perang Uhud dan meninggalkan tujuh orang anak perempuan. Aku menikahi seorang wanita yang dewasa sehingga bisa mengurus dan mengasuh mereka.” Beliau bersabda, “Engkau benar, insya Allah. Bagaimana jika telah tiba di Shirar [Sebuah tempat kira-kira 3 mil dari kota Madinah] nanti aku perintahkan penyiapan unta untuk disem-belih, kemudian kita adakan jamuan daging unta pada hari tersebut hing-ga istrimu mendengar kabar tentang kita dan ia melepaskan bantalnya?”

“Aku tidak memiliki bantal wahai Rasulullah,” jawabku. Beliau bersabda, “Engkau akan memilikinya insya Allah. Karena itu, jika eng-kau telah tiba di rumahmu, maka lakukanlah perbuatan orang cerdik.”

Setibanya di Shirar, Rasulullah SAW., memerintahkan para sahabat untuk menyiapkan unta dan kemudian disembelih. Kami mengadakan jamuan makan pada hari itu. Pada sore hari, beliau masuk ke rumah, dan kami pun masuk ke rumah kami. Aku ceritakan kisah ini dan sabda Rasulullah kepada istriku. Istriku berkata, “Lakukanlah itu, dengar dan taatlah.” Esok paginya aku membawa untaku, menuntun dan menduduk-kannya di depan pintu masjid Rasulullah, kemudian aku duduk di dekat masjid. Ketika beliau keluar dan melihatnya, beliau bersabda, “Apa ini?” Para sahabat menjawab, “Ini unta yang dibawa Jabir.” Beliau bersabda, “Di mana Jabir?” Aku pun dipanggil, kemudian beliau bersabda, “Wahai anak saudaraku, ambillah untamu, karena ia menjadi milikmu!” Beliau memanggil Bilal dan bersabda kepadanya, “Pergilah bersama Jabir, dan berikan kepadanya uang satu uqiyah!” Aku pergi bersama Bilal, dan kemudian ia memberiku uang satu uqiyah dan memberi sedikit tambahan kepadaku. Demi Allah, pemberian beliau tesebut terus berkembang dan bisa dilihat tempatnya di rumahku hingga aku mendapat musibah di perang al-Harrah belum lama ini.

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah al-Anshari, dia berkata, ‘Kami keluar bersama Rasulullah di perang Dzât ar-Riqâ’ dari Nakhl. Salah seorang dari sahabat nabi melukai seorang istri dari kaum musyrikin. Ketika Rasulullah telah kembali ke Madinah, datanglah suami wanita tersebut. Setelah dikabarkan kepadanya apa yang terjadi, ia bersumpah tidak akan kembali hingga bisa menumpahkan darah sahabat-sahabat nabi. Orang itu berjalan menelusuri jejak Rasulullah. Ketika sampai di suatu tempat, Rasulullah singgah di sana dan bersabda, “Siapa yang bersedia berjaga malam ini?” Seorang sahabat Anshar dan seorang sahabat Muhajirin berkata, “Kami siap melakukan penjagaan, wahai Rasulullah.” Kemudian beliau bersabda kepada keduanya, “Hendaklah kalian berdua berjaga-jaga di mulut jalan ini!” Ketika keduanya telah berada di mulut jalan, sahabat Anshar itu berkata kepada sahabat Muhajirin, “Kapan engkau lebih senang berjaga, awal malam atau akhir malam?” Sahabat Muhajirin itu menjawab, “Jagalah aku di awal malam!”

Setelah itu ia pun tidur, sementara sahabat Anshar berjaga sambil berdiri mengerjakan shalat. Ketika itu datanglah suami wanita kaum musyrikin tersebut. Melihat kedua orang sahabat Rasulullah, tahulah ia bahwa mereka bertugas mengintai musuh. Ia segera melempar panah hingga mengenai sahabat yang sedang shalat, namun sahabat tersebut mencabutnya dan tetap berdiri tegak. Orang musyrik itu kembali melem-par panah. Namun sahabat Anshar itu mencabutnya dan tetap berdiri kokoh. Orang musyrik itu kembali melempar panah. Sahabat itu menca-butnya lalu ruku’, sujud dan membangunkan sahabatnya lalu berkata: “Bangunlah, sungguh aku terluka parah!” Sahabat Muhajirin itu segera bangun, dan ketika keduanya melihat orang musyrik itu, ia segera sadar bahwa keberadaan dirinya telah diketahui lalu ia melarikan diri. Melihat darah mengalir di tubuh sahabatnya, sahabat Muhajirin itu berkata, “Subhânallâh, mengapa engkau tidak membangunkanku saat orang musyrik itu melemparmu dengan panah?” Sahabat Anshar itu menjawab, “Saat itu aku sedang membaca sebuah ayat al-Qur’an, dan aku tidak ingin memotongnya hingga aku menyelesaikan bacaannya. Ketika anak panah terus menerus mengenaiku, aku pun ruku’ dan membangunkanmu. Demi Allah, kalaulah bukan karena khawatir melalaikan tugas yang diperintahkan oleh Rasulullah yang harus kulaksanakan, niscaya orang musyrik itu pasti membunuhku sebelum aku menyelesaikan bacaanku.”

Ibnu Ishaq berkata, “Setibanya dari perang Dzat ar-Riqa’, Rasulullah menetap di Madinah pada sisa bulan Jumadil Ula, Jumadil Akhir dan Rajab.”

alsofwa.or.id

Surat Al-Lail

Sesunguhnya usaha kamu memang berbeda-beda. Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertaqwa. Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga). Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang)orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik. Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa. (QS. Al-Lail : 4 – 11)

Surat ini merupakan surat-surat pertama Makiyyah, mengandung dua perumpamaan yang memberikan suatu isyarah akan sikap Islam terhadap harta dan orang kaya; dan menjelaskan pula contoh akhlaq yang diperintahkan Islam dan yang akan mendapatkan ridha Allah SWT.

Golongan pertama adalah golongan yang memberikan hartanya di jalan Allah dan bertaqwa dan membenarkan adanya pahala terbaik (syurga). Terhadap golongan ini Allah memujinya dan menyiapkan baginya jalan yang mudah.

Jadi memberi adalah salah satu sifat yang disejajarkan dengan taqwa dan membenarkan kalimat terbaik. Quran memutlakan sifatnya dengan memberi dan tidak menyatakan apa yang diberikan, berapa yang diberikan dan macam apa yang diberikan, karena maksud utamanya adalah jiwanya itu adalah jiwa yang dermawan, mulia dan pemberi, bukannya jiwa yang hina dan tidak mau memberi.

Jiwa pemberi adalah jiwa yang bermanfaat dan jiwa yang baik, yang tabiatnya senantiasa mau berlaku baik dan memberikan kebaikan kepada orang lain. Ia memberikan yang terbaik, baik untuk dirinya maupun untuk orang lain, sehingga ia menyerupai sebuah sungai yang dimanfaatkan oleh manusia dengan meminumnya dan untuk diberikan kepada hewan ternak dan tanaman. Demikian pula dengan orang yang penuh keberkatan dimanfaatkan dimanapun ia berada, sehingga sebagai pembalasannya terhadap jiwanya yang mudah memberi itu, Allah SWT akan memudahkan masuk ke dalam syurga.

Sebagai tandingan golongan ini, golongan yang dicela Allah dan memudahkannya masuk ke dalam neraka, karena ia sifatnya bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan adanya pahala terbaik (syurga). Inilah golongan yang tercela karena kekikirannya terhadap hartanya dan menganggap dirinya cukup, tidak memerlukan pertolongan Allah dan pertolongan manusia serta membohongkan apa yang dijanjikan Allah SWT, yaitu akibat yang baik bagi orang-orang yang benar imannya.

Maka, Allah memperingatkan dengan neraka yang menyala-nyala, Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka, Yang mendustkan kebenaran dan berpaling dari iman. Dan kelak akak dijauhkan orang yang bertaqwa dari neraka itu. Yang menafkahkan hartanya di jalan Allah untuk membersihkannya, Padahal tidak seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya. Tetapi dia memberikan itu itu semata-mata karena mencari keridhaan Tuhannya Yang Maha Tinggi. Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan. (QS. Al-Lail : 14 – 21)

Sari Penting Kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawy

Islam Dan Penggulangan Kemiskinan

Perhatian Islam terhadap penanggulangan kemiskinan dan fakir miskin tidak dapat diperbandingkan dengan agama samawi dan aturan ciptaan manusia manapun, baik dari segi pengarahan maupun dari segi pengaturan dan penerapan. Semenjak fajarnya baru menyingsing di kota Mekkah, Islam sudah memperhatikan masalah sosial penanggulangan kemiskinan.

Adakalanya Quran merumuskannya dengan kata-kata “memberi makan dan mengajak memberi makan orang miskin” atau dengan “mengeluarkan sebahagian rezeki yang diberikan Allah”, “memberikan hak orang yang meminta-meminta, miskin dan terlantar dalam perjalanan”, “membayar zakat” dan rumusan lainnya. Memberi makan orang miskin yang meliputi juga memberi pakaian, perumahan dan kebutuhan-kebutuhan pokoknya adalah merupakan realisasi dari keimananan seseorang (lihat surat Al Mudatsir, Al Haqqah).

Quran tidak hanya menghimbau untuk memperhatikan dan memberi makan orang miskin, dan mengancam bila mereka dibiarkan terlunta-lunta, tetapi lebih dari itu membebani setiap orang Mu’min mendorong pula orang lain memperhatikan orang-orang miskin dan menjatuhkan hukuman kafir kepada orang-orang yang tidak mengerjakan kewajiban itu serta pantas menerima hukuman Allah di akhirat. Tangkap dan borgol mereka, kemudian lemparkan ke dalam api neraka yang menyala-nyala, dan belit dengan rantai tujuh puluh hasta ! Mengapa mereka dihukum dan disiksa secara terang-terangan itu? Oleh karena mereka ingkar kepada Allah yang Maha Besar dan tidak menyuruh memberi makan orang-orang miskin. (QS 69:30-34)

Dalam surat Al Fajr, Allah membentak orang-orang Jahiliah yang mengatakan bahwa agama mereka justru untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan berasal dari nenek moyang mereka, Ibrahim; “Tidak, tetapi kalian tidak tidak menghormati anak yatim dan tidak saling mendorong memberi makan orang miskin. (QS 89:17-18)

Demikian pula pada surat Al Maun dimana dikatakan; orang yang mengusir anak yatim dan tidak mendorong memberi makan orang miskin” dikatakan sebagai orang yang mendustakan agama. Orang yang tidak pernah menghimbau orang lain untuk memberi makan orang miskin biasanya tidak pernah pula memberi makan orang miskin tersebut. Tuhan mengungkapkan dalam bentuk sindiran dengan tujuan apabila seseorang tidak mampu memenuhi harapan orang miskin, maka ia harus meminta orang lain melakukannya.

Selanjutnya dalam surat Adz Dzariyat : 19-20 “Dalam kekayaan mereka tersedia hak peminta-minta dan orang-orang yang hidup berkekurangan”

Digambarkan disini orang-orang yang bertaqwa adalah orang yang menyadarai sepenuhnya bahwa kekayaan mereka bukanlah milik sendiri yang dapat mereka perlakukan semau mereka, tetapi menyadari bahwa di dalamnya terdapat hak-hak orang lain yang butuh. Dan hak itu bukan pula merupakan hadiah atau sumbangan karena kemurahan hati mereka, tetapi sudah merupakan hak orang-orang tsb. Penerima tidak bisa merasa rendah dan pemberi tidak bisa merasa lebih tinggi. Lihat pula surat Al Ma’arif (QS 70:19-25).

Ayat-ayat di atas diturunkan di Makkah, sementara zakat diwajibkan di Madinah. Dengan demikian, sejak saat-saat awal kurun Makkah, Islam telah menanamkan kesadaran di dalam dada orang-orang Islam bahwa ada hak-hak orang yang berkekurangan dalam harta mereka. Hak yang harus dikeluarkan, tidak hanya berupa sedekah sunnat yang mereka berikan atau tidak diberikan sekehendak mereka sendiri. Kata zakat sendiri sudah digunakan dalam ayat-ayat Makiyah seperti pada surat : Ar Rum:38-39, An Naml:1-3, Luqman:4, Al Mu’minun:4, Al A’raf:156-157, dan Fushshilat : 6-7.

Walau Al Quran sudah membicarakan zakat dalam ayat-ayat Makiah, namun demikian zakat itu sendiri baru diwajibkan di Madinah. Zakat yang turun dalam ayat-ayat Makiah tidak sama dengan zakat yang diwajibkan di Madinah, dimana nisab dan besarnya sudah ditentukan, orang-orang yang mengumpulkan dan membagikannya sudah diatur, dan negara bertanggung jawab mengelolanya.

Sari Penting Kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawy

Zakat Pada Periode Madinah

Berbeda dengan ayat-ayat Al Qur’an yang turun di Makkah, ayat-ayat yang turun di Madinah sudah menjelaskan bahwa zakat itu wajib dalam bentuk perintah yang tegas dan instruksi pelaksanaan yang jelas. Salah satu surat yang terakhir turun adalah surat At Taubah yang juga merupakan salah satu surat dalam Quran yang menumpahkan perhatian besar pada zakat. Coba kita perhatikan ayat-ayat surat At Taubah di bawah ini yang tidak lepas dari masalah zakat :

  1. Dalam ayat permulaan surat itu Allah memerintahkan agar orang-orang musyrik yang melanggar perjanjian damai itu dibunuh. Tetapi jika mereka (1) bertaubat, (2) mendirikan shalat wajib, dan (3) membayar zakat, maka berilah mereka kebebasan (QS 9:5).

  2. Enam ayat setelah ayat diatas Allah berfirman :”…jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan membayar zakat, barulah mereka teman kalian seagama….” (QS 9:11)

  3. Allah juga merestui orang-orang yang menyemarakan masjid; yaitu orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, mendirikan sholat, membayar zakat (QS 9:18)

  4. Allah mengancam dengan azab yang pedih kepada orang-orang yang menimbun emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah (QS 9:34-35)

  5. Dalam surat ini juga terdapat penjelasan tentang sasaran-sasaran penerima zakat, yang sekaligus menampik orang-orang yang rakus yang ludahnya meleleh melihat kekayaan zakat tanpa hak. (QS 9:60).

  6. Allah menjelaskan pula bahwa zakat merupakan salah satu institusi seorang Mu’min (QS 9:71) yang membedakannya dari orang munafik (yang menggenggam tangan mereka/kikir, QS 9:67).

  7. Allah memberikan instruksi kepada Rasul-Nya dan semua orang yang bertugas memimpin ummat setelah beliau untuk memungut zakat (QS 9:103)
    Khuz min amwalihim shadaqah….(Pungutlah zakat dari kekayaan mereka….).
    Kata “min” berarti sebagian dari harta, bukan seluruh kekayaan.
    Kata “amwalihim” dalam bentuk jamak yang berarti : harta-harta kekayaan mereka, yaitu meliputi berbagai jenis kekayaan.
    Kata shodaqah dalam ayat ini oleh kebanyakan ulama salaf maupun khalaf ditafsirkan sebagai zakat dengan dasar hadits dan riwayat shahabat.

Kesimpulan yang dapat ditarik berkaitan dengan zakat ini, bahwa seseorang, tanpa mengeluarkan zakat :

  1. belum dianggap sah masuk barisan orang-orang yang bertaqwa.
  2. tidak dapat dibedakan dari orang-orang musyrik
  3. tidak bisa dibedakan dengan orang-orang munafik yang kikir.
  4. tidak akan mendapatkan rahmat Allah (QS 7:156)
  5. tidak berhak mendapat pertolongan dari Allah, Rasulnya dan orang-orang yang beriman (QS 5:55-56)

  6. tidak bisa memperoleh pembelaan dari Allah (QS 22:40-41)

Sari Penting Kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawy

Zakat Dan Kedudukannya Dalam Islam

Berdasarkan sejumlah hadits dan laporan para shahabat, diketahui bahwa urutan rukun Islam setelah shalat lima waktu (setelah Isra dan Mi’raj) adalah puasa (diwajibkan pada tahun 2 H) yang bersamaan dengan zakat fitrah. Baru kemudian perintah diwajibkannya zakat kekayaan. Namun demikian Yusuf Al-Qaradhawy menegaskan bahwa zakat adalah rukun Islam ketiga berdasarkan banyak hadits shahih, misalnya hadits peristiwa Jibril ketika mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah : “Apakah itu Islam ?” Nabi menjawab :”Islam adalah mengikrarkan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah RasulNya, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, dan naik haji bagi yang mampu melaksanakannya” (Bukhari Muslim)

Urutan ini tidak terlepas dari pentingnya kewajiban zakat (setelah shalat), dipuji orang yang melaksanakannya dan diancam orang yang meninggalkannya dengan berbagai upaya dan cara. Peringatan keras terhadap orang yang tidak membayar zakat tidak hanya berupa hukuman yang sangat pedih di akhirat (misalnya QS 9:34-35; 3:180, dan hadits shahih) juga terdapat hukuman di dunia. Hadits shahih menjelaskan bahwa :

  • Orang yang tidak mengeluarkan zakat akan ditimpa kelaparan dan kemarau panjang

  • Bila zakat bercampur dengan kekayaan lain, maka kekayaan itu akan binasa
  • Pembangkang zakat dapat dihukum dengan denda bahkan dapat diperangi dan dibunuh. Hal ini dilakukan oleh Abu Bakar ketika setelah Rasulullah wafat dimana banyak suku Arab yang membangkang tidak mau membayar zakat dan hanya mau mengerjakan sholat.

Pernyataan Abu Bakar : “Demi Allah, saya akan memerangi siapapun yang membeda-bedakan zakat dari shalat,….” Berdasarkan pembahasan diatas dapat dimengerti bahwa zakat adalah asasi sekali dalam Islam, dan dapat dikatakan bahwa orang yang mengingkari zakat itu wajib adalah kafir dan sudah keluar dari Islam (murtad). Adapun beberapa perbedaan mendasar antara zakat dalam Islam dengan zakat dalam agama-agama lain menurut pengamatan Yusuf Al-Qaradhawy sebagai berikut :

  1. Zakat dalam Islam bukan sekedar suatu kebajikan yang tidak mengikat, tapi merupakan salah satu fondamen Islam yang utama dan mutlak harus dilaksanakan.

  2. Zakat dalam Islam adalah hak fakir miskin yang tersimpan dalam kekayaan orang kaya. Hak itu ditetapkan oleh pemilik kekayaan yang sebenarnya, yaitu Allah SWT.

  3. Zakat merupakan “kewajiban yang sudah ditentukan” yang oleh agama sudah ditetapkan nisab, besar, batas-batas, syarat-syarat waktu dan cara pembayarannya.

  4. Kewajiban ini tidak diserahkan saja kepada kesediaan manusia, tetapi harus dipikul tanggungjawab memungutnya dan mendistribusikannya oleh pemerintah.

  5. Negara berwenang menghukum siapa saja yang tidak membayar kewajibannya, baik berupa denda, dan dapat dinyatakan perang atau dibunuh.

  6. Bila negara lalai menjalankan atau masyarakat segan melakukannya, maka bagaimanapun zakat bagi seorang Muslim adalah ibadat untuk mendekatkan diri kepada Allah serta membersihkan diri dan kekayaannya.

  7. Penggunaan zakat tidak diserahkan kepada penguasa atau pemuka agama (seperti dalam agama Yahudi), tetapi harus dikeluarkan sesuai dengan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan Al Quran. Pengalaman menunjukan bahwa yang terpenting bukanlah memungutnya tetapi adalah masalah pendistribusiannya.

  8. Zakat bukan sekedar bantuan sewaktu-waktu kepada orang miskin untuk meringankan penderitaannya, tapi bertujuan untuk menaggulangi kemiskinan, agar orang miskin menjadi berkecukupan selama-lamanya, mencari pangkal penyebab kemiskinan itu dan mengusahakan agar orang miskin itu mampu memperbaiki sendiri kehidupan mereka.

  9. Berdasarkan sasaran-sasaran pengeluaran yang ditegaskan Quran dan Sunnah, zakat juga mencakup tujuan spiritual, moral. sosial dan politik, dimana zakat dikeluarkan buat orang-orang mualaf, budak-budak, orang yang berhutang, dan buat perjuangan, dan dengan demikian lebih luas dan lebih jauh jangkauannya daripada zakat dalam agama-agama lain.

Sebelum membahas masalah jenis zakat yang wajib zakat, ada baiknya kalau kaji melompat dulu ke pembahasan Bagian VI, yaitu: “Tujuan Zakat dan Dampaknya dalam Kehidupan Pribadi dan Masyarakat. Diharapkan dengan memahami tujuan-tujuan zakat ini, akan semakin terangsanglah kita untuk lebih mengetahui masalah zakat ini dan tentu saja untuk mengamalkannya. Tu;isan ini akan mengupas dampak zakat dalam kehidupan pribadi, yang akan disambung dengan dampak zakat dalam kehidupan bermasyarakat.

Tujuan zakat dan dampaknya bagi pribadi dapat dipisahkan antara pribadi si PEMBERI dan si PENERIMA. Zakat bukan bertujuan sekedar untuk memenuhi baitul maal dan menolong orang yang lemah dari kejatuhan yang semakin parah. Tapi tujuan utamanya adalah agar manusia lebih tinggi nilainya daripada harta, sehingga manusi menjadi tuannya harta bukan menjadikan budaknya. Dengan demikian kepentingan tujuan zakat terhadap si pemberi sama dengan kepentingannya terhadap si penerima.

Beberapa tujuan dan dampak zakat bagi si PEMBERI adalah:

1. Zakat mensucikan jiwa dari sifat kikir.

Zakat yang dikeluarkan karena ketaatan pada Allah akan mensucikannya jiwa (9:103) dari segala kotoran dan dosa, dan terutama kotornya sifat kikir. Penyakit kikir ini telah menjadi tabiat manusia (17:100; 70:19), yang juga diperingatkan Rasulullah SAW sebagai penyakit yang dapat merusak manusia (HR Thabrani), dan penyakit yang dapat memutuskan tali persaudaraan (HR Abu Daud dan Nasai). Sehingga alangkah berbahagianya orang yang bisa menghilangkan kekikiran. “Barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung” (59:9; 64:16).

Zakat yang mensucikan dari sifat kikir ditentukan oleh kemurahannya dan kegembiraan ketika mengeluarkan harta semata karena Allah. Zakat yang mensucikan jiwa juga berfungsi membebaskan jiwa manusia dari ketergantungan dan ketundukan terhadap harta benda dan dari kecelakaan menyembah harta.

2. Zakat mendidik berinfak dan memberi.

Berinfak dan memberi adalah suatu akhlaq yang sangat dipuji dalam Al Qur’an, yang selalu dikaitkan dengan keimanan dan ketaqwaan (2:1-3; 42:36-38; 3:134; 3:17; 51:15-19; 92:1-21)

Orang yang terdidik untuk siap menginfakan harta sebagai bukti kasih sayang kepada saudaranya dalam rangka kemaslahatan ummat, tentunya akan sangat jauh sekali dari keinginan mengambil harta orang lain dengan merampas dan mencuri (juga korupsi).

3. Berakhlaq dengan Akhlaq Allah

Apabila manusia telah suci dari kikir dan bakhil, dan sudah siap memberi dan berinfak, maka ia telah mendekatkan akhlaqnya dengan Akhlaq Allah yang Maha Pengash, Maha Penyayang dan Maha Pemberi.

4. Zakat merupakan manifestasi syukur atas Nikmat Allah.

5. Zakat mengobati hati dari cinta dunia.

Tnggelam kepada kecintaan dunia dapat memalingkan jiwa dari kecintaan kepada Allah dan ketakutan kepada akhirat. Adalah suatu lingkaran yang tak berujung;

Usaha mendapatkan harta –> mendapatkan kekuasaan –> mendapatkan kelezatan –> lebih berusaha mendapatkan harta, dst. Syariat Islam memutuskan lingkaran tsb dengan mewajibkan zakat, sehingga terhalanglah nafsu dari lingkaran syetan itu. Bila Allah mengaruniai harta dengan disertai ujian/fitnah (21:35; 64:15; 89:15) maka zakat melatih si Muslim untuk menandingi fitnah harta dan fitnah dunia tsb.

6. Zakat mengembangkan kekayaan bathin

Pengamalan zakat mendorong manusia untuk menghilangkan egoisme, menghilangkan kelemahan jiwanya, sebaliknya menimbulkan jiwa besar dan menyuburkan perasaan optimisme.

7. Zakat menarik rasa simpati/cinta

Zakat akan menimbulkan rasa cinta kasih orang-orang yang lemah dan miskin kepada orang yang kaya. Zakat melunturkan rasa iri dengki pada si miskin yang dapat mengancam si kaya dengan munculnya rasa simpati dan doa ikhlas si miskin atas si kaya.

8. Zakat mensucikan harta dari bercampurnya dengan hak orang lain (Tapi zakat tidak bisa mensucikan harta yang diperoleh dengan jalan haram).

9. Zakat mengembangkan dan memberkahkan harta.

Allah akan menggantinya dengan berlipat ganda (34:39; 2:268; dll). Sehingga tidak ada rasa khawatir bahwa harta akan berkurang dengan zakat.

Adapun tujuan dan dampak zakat bagi si penerima:

1. Zakat akan membebaskan si penerima dari kebutuhan, sehingga dapat merasa hidup tentram dan dapat meningkatkan khusyu ibadat kepada Tuhannya. Sesungguhnya Islam membenci kefakiran dan menghendaki manusia meningkat dari memikirkan kebutuhan materi saja kepada sesuatu yang lebih besar dan lebih pantas akan nilai-nilai kemanusiaan yang mulia sebagai khalifah Allah di muka bumi.

2. Zakat menghilangkan sifat dengki dan benci.

Sifat hasad dan dengki akan menghancurkan keseimbangan pribadi, jasamani dan ruhaniah seseorang. Sifat ini akan melemahkan bahkan memandulkan produktifitas. Islam tidak memerangi penyakit ini dengan sematamata nasihat dan petunjuk, akan tetapi mencoba mencabut akarnya dari masyarakat melalui mekanisme zakat, dan menggantikannya dengan persaudaraan yang saling memperhatikan satu sama lain.

Berikut ini merupakan kelanjutan dari pembahasan “Tujuan Zakat dan Dampaknya” yang kali ini difokuskan dalam kehidupan masyarakat.

Zakat didasarkan pada delapan asnafnya yang tersebut dalam QS 9:60 memperjelas kedudukan dan fungsinya dalam masyarakat yaitu terkait dengan :

  1. Tanggung jawab sosial (dalam hal penanggulangan kemiskinan, pemenuhan kebutuhan fisik minimum (KFM), penyediaan lapangan kerja dan juga asuransi sosial (dalam hal adanya bencana alam dll).

  2. Perekonomian, yaitu dengan mengalihkan harta yang tersimpan dan tidak produktif menjadi beredar dan produktif di kalangan masyarakat. Misalnya halnya harta anak yatim; “Usahakanlah harta anak yaitm itu sehingga tidak habis oleh zakat” (Hadits).

  3. Tegaknya jiwa ummat, yaitu melalui tiga prinsip :
    1. Menyempurnakan kemerdekaan setiap individu (fi riqob)
    2. Membangkitkan semangat beramal sholih yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Misalnya berhutang demi kemaslahatan masyarakat ditutupi oleh zakat.

    3. Memelihara dan mempertahankan akidah (fi sabilillah)

Beberapa problematika masyarakat yang disorot oleh Yusuf Al-Qaradhawy dimana zakat seharusnya dapat banyak berperan adalah sbb:

1. Problematika Perbedaan Kaya-Miskin.

Zakat bertujuan untuk meluaskan kaidah pemilikan dan memperbanyak jumlah pemilik harta (…”Supaya harta itu jangan hanya berputar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu”, QS 59:7).

Islam mengakui adanya perbedaan pemilikan berdasarkan perbedaan kemampuan dan kekuatan yang dimiliki manusia. Namun Islam tidak menghendaki adanya jurang perbedaan yang semakin lebar, sebaliknya Islam mengatur agar perbedaan yang ada mengantarkan masyarakat dalam kehidupan yang harmonis, yang kaya membantu yang miskin dari segi harta, yang miskin membantu yang kaya dari segi lainnya.

2. Problematika Meminta-minta.

Islam mendidik ummatnya untuk tidak meminta-minta, dimana hal ini akan menjadi suatu yang haram bila dijumpai si peminta tsb dalam kondisi berkecukupan (ukuran cukup menurut hadits adalah mencukupi untuk makan pagi dan sore). Disisi lain Islam berusaha mengobati orang yang meminta karena kebutuhan yang mendesak, yaitu dengan dua cara;

(1) menyediakan lapangan pekerjaan, alat dan ketrampilan bagi orang yang mampu bekerja, dan
(2) jaminan kehidupan bagi orang yang tidak sanggup bekerja.
(3) Problematika Dengki dan Rusaknya Hubungan dengan Sesama.

Persaudaraan adalah tujuan Islam yang asasi, dan setiap ada sengketa hendaknya ada yang berusaha mendamaikan (49:9-10). Rintangan dana dalam proses pendamaian tsb seharusnya dapat dibayarkan melalui zakat, sehingga orang yang tidak kaya pun dapat berinisiatif sebagai juru damai.

4. Problematika Bencana

Orang kaya pun suatu saat bisa menjadi fakir karena adanya bencana. Islam melalui mekanisme zakat seharusnya memeberikan pengamanan bagi ummat yang terkena bencana (sistem asuransi Islam), sehingga mereka dapat kembali pada suatu tingkat kehidupan yang layak.

5. Problematika Membujang

Banyak orang membujang dikarenakan ketidakmampuan dalam hal harta untuk menikah. Islam menganjurkan ummatnya berkawin yang juga merupakan benteng kesucian. Mekanisme zakat dapat berperan untuk memenuhi kebutuhan tsb.

6. Problematikan Pengungsi

Rumah tempat berteduh juga merupakan kebutuhan primer disamping makanan dan pakaian. Zakat seharusnya menjadi unsur penolong pertama dalam menangani masalah pengungsi ini.

Demikian intisari pembahasan Tujuan Zakat dan Dampaknya dalam Kehidupan Pribadi dan Masyarakat. Begitu banyak kemaslahatan masyarakat yang bisa diwujudkan dengan harta zakat zakat, namun apa daya pelaksanaan kewajiban zakat ini masih sangat minim di kalangan ummat Islam. Dua hal yang menyebabkannya : pertama, karena ketidaktahuan ummat mengenai mekanisme zakat ini; dan yang kedua adalah kelemahan ummat dalam mengelolanya. Insya Allah, untuk lebih memelek-zakatkan kita dalam hal berzakat, posting berikutnya akan menyangkut pembahasan “Kekayaan yang Wajib Dizakati”.

Sari Penting Kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawy

Kekayaan Yang Wajib Zakat

Pengertian Kekayaan

Quran tidak memberikan ketegasan tentang jenis kekayaan yang wajib zakat, dan syarat-syarat apa yang mesti dipenuhi, dan berapa besar yang harus dizakatkan. Persoalan tsb diserahkan kepada Sunnah Nabi. Memang terdapat beberapa jenis kekayaan yang disebutkan Quran seperti: emas dan perak (9:34); tanaman dan buah-buahan (6:141); penghasilan dari usaha yang baik (2:267); dan barang tambang (2:267). Namun demikian, lebih daripada itu Quran hanya merumuskannya dengan rumusan yanga umum yaitu “kekayaan” (“Pungutlah olehmu zakat dari kekayaan mereka,…..” QS 9:103).

Kekayaan hanya bisa disebut kekayaan apabila memenuhi dua syarat yaitu : dipunyai dan bisa diambil manfaatnya. Inilah definisi yang paling benar menurut Yusuf Al-Qaradhawy dari beragam definisi yang dijumpai. Terdapat 6 syarat untuk suatu kekayaan terkena wajib zakat:
1. Milik penuh
2. Berkembang
3. Cukup senisab
4. Lebih dari kebutuhan biasa
5. Bebas dari hutang
6. Berlalu setahun

Syarat Pertama : Milik Penuh

Kekayaan pada dasarnya adalah milik Allah. Yang dimaksud pemilikan disini hanyalah penyimpanan, pemakaian, dan pemberian wewenang yang diberikan Allah kepada manusia, sehingga sesorang lebih berhak menggunakan dan mengambil manfaatnya daripada orang lain.

Istilah “milik penuh” maksudnya adalah bahwa kekayaan itu harus berada di bawah kontrol dan di dalam kekuasaannya. Dengan kata lain, kekayaan itu harus berada di tangannya, tidak tersangkut di dalamnya hak orang lain, dapat ia pergunakan dan faedahnya dapat dinikmatinya.

Konsekwensi dari syarat ini tidak wajib zakat bagi :

  • Kekayaan yang tidak mempunyai pemilik tertentu
  • Tanah waqaf dan sejenisnya
  • Harta haram. Karena sesungguhnya harta tersebut tidak syah menjadi milik seseorang
  • Harta pinjaman. Dalam hal ini wajib zakat lebih dekat kepada sang pemberi hutang (kecuali bila hutang tsb tidak diharapkan kembali). Bagi orang yang meminjam dapat dikenakan kewajiban zakat apabila dia tidak mau atau mengundur-undurkan pembayaran dari harta tsb, sementara dia terus mengambil manfaat dari harta tsb. Dengan kata lain orang yang meminjam telah memperlakukan dirinya sebagai “si pemilik penuh”.

  • Simpanan pegawai yang dipegang pemerintah (seperti dana pensiun). Harta ini baru akan menjadi milik penuh di masa yang akan datang, sehingga baru terhitung wajib zakat pada saat itu.

Syarat Kedua : Berkembang

Pengertian berkembang yaitu harta tsb senantiasa bertambah baik secara konkrit (ternak dll) dan tidak secara konkrit (yang berpotensi berkembang, seperti uang apabila diinvestasikan).

Nabi tidak mewajibkan zakat atas kekayaan yang dimiliki untuk kepentingan pribadi seperti rumah kediaman, perkakas kerja, perabot rumah tangga, binatang penarik, dll. Karena semuanya tidak termasuk kekayaan yang berkembang atau mempunyai potensi untuk berkembang. Dengan alasan ini pula disepakati bahwa hasil pertanian dan buah-buahan tidak dikeluarkan zakatnya berkali-kali walaupun telah disimpan bertahun-tahun.

Dengan syarat ini pula, maka jenis harta yang wajib zakat tidak terbatas pada apa yang sering diungkapkan sebahagian ulama yaitu hanya 8 jenis harta (unta, lembu, kambing, gandum, biji gandum, kurma, emas, dan perak). Semua kekayaan yang berkembang merupakan subjek zakat.

Syarat Ketiga: Cukup Senisab

Disyaratkannya nisab memungkinkan orang yang mengeluarkan zakat sudah terlebih dahulu berada dalam kondisi berkecukupan. Tidaklah mungkin syariat membebani zakat pada orang yang mempunyai sedikit harta dimana dia sendiri masih sangat membutuhkan harta tsb. Dengan demikian pendapat yang mengatakan hasil pertanian tidak ada nisabnya menjadi tertolak. (Besarnya nisab untuk masing-masing jenis kekayaan dijelaskan pada bab lain).

Syarat Keempat: Lebih dari Kebutuhan Biasa

Kebutuhan adalah merupakan persoalan pribadi yang tidak bisa dijadikan patokan besar-kecilnya. Adapun sesuatu kelebihan dari kebutuhan itu adalah bagian harta yang bisa ditawarkan atau diinvestasikan yang dengan itulah pertumbuhan/perkembangan harta dapat terjadi.

Kebutuhan harus dibedakan dengan keinginan. Kebutuhan yang dimaksud adalah kebutuhan rutin, yaitu sesuatu yang betul-betul diperlukan untuk kelestarian hidup; seperti halnya belanja sehari-hari, rumah kediaman, pakaian, dan senjata untuk mempertahankan diri, peralatan kerja, perabotan rumah tangga, hewan tunggangan, dan buku-buku ilmu pengetahuan untuk kepentingan keluarga (karena kebodohan dapat berarti kehancuran).

Kebutuhan ini berbeda-beda dengan berubahnya zaman, situasi dan kondisi, juga besarnya tanggungan dalam keluarga yang berbeda-beda. Persoalan ini sebaiknya diserahkan kepada penilaian para ahli dan ketetapan yang berwewenang.

Zakat dikenakan bila harta telah lebih dari kebutuhan rutin. Sesuai dengan ayat 2:219 (“sesuatu yang lebih dari kebutuhan…”) dan juga hadits “zakat hanya dibebankan ke atas pundak orang kaya”, dan hadits-hadits lainnya.

Syarat ke lima: Bebas dari Hutang

Pemilikan sempurna yang dijadikan persyaratan wajib zakat haruslah lebih dari kebutuhan primer, dan cukup pula senisab yang sudah bebas dari hutang. Bila jumlah hutang akan mengurangi harta menjadi kurang senisab, maka zakat tidaklah wajib.

Jumhur ulama berpendapat bahwa hutang merupakan penghalang wajib zakat. Namun apabila hutang itu ditangguhkan pembayarannya (tidak harus sekarang juga dibayarkan), maka tidaklah lepas wajib zakat (seperti halnya hutang karena meng-kredit sesuatu).

Syarat ke enam: Berlalu Setahun

Maksudnya bahwa pemilikan yang berada di tangan si pemilik sudah berlalu masanya dua belas bulan Qomariyah. Menurut Yusuf Al-Qaradhawy, persyaratan setahun ini hanyalah buat barang yang dapat dimasukkan ke dalam istilah “zakat modal” seperti: ternak, uang, harta benda dagang, dll. Adapun hasil pertanian, buah-buahan, madu, logam mulia (barang tambang), harta karun, dll yang sejenis semuanya termasuk ke dalam istilah “zakat pendapatan” dan tidak dipersyaratkan satu tahun (maksudnya harus dikeluarkan ketika diperoleh).

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para shahabat dan tabi’in mengenai persyaratan “berlalu setahun” ini. Dimana apa pendapat yang mengatakan bahwa zakat wajib dikeluarkan begitu diperoleh bila sampai senisab, baik karena sendiri maupun karena tambahan dari yang sudah ada, tanpa mempersyaratkan satu tahun. Perbedaan ini dikarenakan “tidak adanya satu hadits yang tegas” mengenai persyaratan ini. (Pembahasan lebih jauh mengenai hal ini Insya Allah akain kita jumpai pada pembahasan zakat profesi/ pendapatan). Namun demikian sesuatu yang tidak diperselisihkan sejak dulu adalah bahwa zakat kekayaan yang termasuk zakat modal di atas hanya diwajibkan satu kali dalam setahun.

Jenis Kekayaan yang Wajib Zakat
Cukup banyak dan detail jenis zakat yang dibahas oleh Dr. Yusuf Al-Qaradhawy (hal 167-501) yang mencakup :

1. Zakat binatang ternak
2. Zakat emas dan perak / zakat uang
3. Zakat kekayaan dagang
4. Zakat pertanian
5. Zakat madu dan produksi hewani
6. Zakat barang tambang dan hasil laut
7. Zakat investasi pabrik, gedung, dll
8. Zakat pencarian dan profesi
9. Zakat saham dan obligasi

Namun demikian mengingat keterbatasan saya, saya hanya akan membahas yang penting bagi kita pada umumnya untuk mengetahuinya yaitu nomor 2 dan 8 saja.

Sari Penting Kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawy

Zakat Emas Dan Perak

Pembahasan mengenai zakat emas dan perak (E&P) perlu dibedakan antara E&P sebagai perhiasan atau E&P sebagai uang (alat tukar). Sebagai perhiasan E&P juga dapat dibedakan antara perhiasan wanita dan perhiasan lainnya (ukiran, souvenir, perhiasan pria dll). Dangkalnya pemahaman fungsi E&P sebagai alat tukar atau mata uang menyebabkan banyaknya simpanan uang di kalangan ummat Islam tidak tertunaikan zakatnya.

I. Emas dan Perak sebagai Uang

E&P telah sejak lama juga pada zaman Rasulullah digunakan sebagai alat tukar (uang), yaitu uang emas (dinar) dan uang perak (dirham). Kedua mata uang ini mereka peroleh dari kerajaan-kerajaan tetanggan yang besar, dinar banyak digunakan penduduk kerajaan Romawi Bizantinum sedangkan dirham pada kerajaan Persia.

Adapun ayat 34-35 surat At Taubah : …”Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah,….”, ayat ini condong pada maksud e&p dalam artian uang karena ia merupakan sesuatu yang dapat diinfakkan dan alat yang dipakai langsung untuk itu. Ancaman Allah dijumpai dalam dua hal yaitu; penyimpanannya, dan tidak diinfakkannya pada jalan Allah. Ini dianggap tidak “tidak berzakat”. Beberapa hadits juga menjelaskan dengan makna yang sama.

Hikmah Wajib Zakat Uang

Sesungguhnya kepentingan uang adalah untuk bergerak dan beredar, maka dimanfaatkanlah oleh orang-orang yang mengedarkannya. Sebaliknya penyimpanan dan pemendamannya akan menyebabkan tidak lakunya pekerjaanpekerjaan, merajalelanya pengangguran, matinya pasar-pasar, dan mundurnya kegiatan perekonomian secara umum.

Oleh karenanya pewajiban zakat bagi pemilik uang (yang sudah sampai nisab) baik yang dikembangkan maupun tidak adalah merupakan langkah kongkrit yang patut diteladani. Hadits Nabi memerintahkan perniagaan harta anak yatim sehingga tidak habis begitu saja dimakan zakat.

Besarnya Zakat Uang

Tidak terdapat perbedaan pendapat ulama dalam hal besarnya zakat uang ini yaitu 2.5 persen. Yusuf Al- Qaradhawy juga membantah keras beberapa peneliti dewasa ini yang menganjurkan agar besar zakat ini ditambah sesuai dengan kebutuhan dan perkembangaan keadaan. Alasan yang dikemukakan antara lain : Hal tsb bertentangan dengan nash yang jelas; bertentangan dengan ijma ulama; bahwa zakat adalah kewajiban, karena itu harus mempunyai sifat yang tetap, kekal dan utuh; adapun kebutuhan dana bagi negara dewasa ini dapat diatasi dengan pengadaan pajak lain disamping zakat.

Nisab Uang

Melalui pembahasan yang panjang dan nyelimet bagi saya (karena banyak menggunakan satuan-satuan yang saya nggak faham, dan juga kaidah-kaidah ushul fiqh) maka saya langsung saja lompat pada kesimpulan dari penelitian Yusuf Al-Qaradhawy mengenai ketentuan nisab uang ini, yaitu 85 gram emas dan 200 gram perak. Adapun nisab untuk uang kertas dan surat-surat berharga lain ditetapkan setara dengan 85 gram emas, dengan pertimbangan nilai emas jauh lebih stabil dari pada perak.

Menutup pembahasan zakat uang ini, Yusuf Al-Qaradhawy mengingatkan kembali bahwa setiap uang milik penuh yang sudah sampai senisab, bebas dari hutang, dan merupakan kelebihan dari kebutuhan pokok, maka wajiblah zakatnya 2.5 persen, yaitu sekali dalam setahun. Mengenai kapan harus dikeluarkan, apakah di awal atau akhir tahun atau pada saat diterima, Insya Allah akan dibahas dalam pembahasan “zakat pencarian/profesi”.

II. Zakat Emas dan Perak yang Non Uang

Manusia sering menggunakan E&P selain untuk perhiasan yang diperbolehkan oleh syara’ juga untuk perhiasan yang tidak diperbolehkan. Perhiasan yang dihalalkan adalah untuk kaum wanita dalam batas yang tidak berlebihan, dan juga perak untuk pria. Adapun banyak penggunaan E&P di kalangan masyarakat yang tidak dibenarkan oleh syara’ yaitu berupa barang seperti; bejana-bejana, patung dan benda seni lainnya, dll, yang pada hakekatnya E&P tsb adalah berupa simpanan yang tidak beredar di kalangan masyarakat.

Perhiasan yang tidak wajib dizakati adalah perhiasan yang dipakai dan dimanfaatkan. Adapun yang dijadikan sebagai benda simpanan, maka hal itu wajib dizakati. Karena pada hakekatnya simpanan E&P ini mempunyai potensi untuk dikembangkan (lihat lagi posting syarat harta yang wajib zakat).

Setelah menempuh analisis yang panjang, maka untuk mudahnya saya sampaikan saja kesimpulan yang ditarik Yusuf Al-Qaradhawy untuk masalah ini :

  1. Kekayaan dari E&P yang digunakan sebagai simpanan adalah wajib dikeluarkan zakatnya.

  2. Jika kekayaan E&P tersebut untuk dipakai seseorang, maka hukumnya dilihat pada macam penggunaannya; jika penggunaannya bersifat haram seperti untuk bejana-bejana emas atau perak, patung-patung maka wajib dikeluarkan zakatnya.

  3. Diantara pemakaian perhiasan yang diharamkan adalah yang ada unsur berlebih-lebihan dan menyolok oleh seorang perempuan.

  4. Jika perhiasan tsb digunakan untuk hal yang mubah seperti perhiasan perempuan yang tidak berlebih-lebihan, serta cincin perak untuk laki-laki, maka tidak wajib dikeluarkan zakatnya, karena perhiasan tsb merupakan harta yang tidak berkembang (tidak memenuhi syarat harta yang wajib zakat), dan juga merupakan salah satu di antara kebutuhan-kebutuhan manusia.

  5. Tidak ada perbedaan antara perhiasan mubah tersebut dimiliki oleh seseorang untuk dipakainya sendiri atau dipinjamkan kepada orang lain.

  6. Yang wajib dizakati dari perhiasan yang tidak dibenarkan syara’ (bejana, patung dll) adalah sebesar ukuran mata uang dan dikeluarkan zakatnya sebanyak 2.5 % setiap tahun dengan hartanya yang lain jika memiliki.

  7. Hal ini dengan syarat telah mencapai nisab atau bersama dengan hartanya yang lain memenuhi nisab, yaitu 85 gram emas, yaitu nilainya dan bukan ukurannya (Perhatian : Nilai dan Ukuran itu berbeda, sekedar contoh nih, sebuah patung emas atau perak bisa mempunyai nilai jual berlipat-lipat dari harga emas/perak bahan baku pembuatannya).

Sari Penting Kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawy

Zakat Pencarian Dan Profesi

Bagian ini memasuki pembahasan Zakat Pencarian Atau Profesi. Topik ini merupakan salah satu topik yang sangat penting bagi kita yang memiliki suatu pekerjaan atau profesi tertentu. Topik ini sebenarnya bukan hal yang baru di kalangan ahli fiqih zakat. Tapi apa yang diungkapkan oleh Yusuf Al-Qaradhawy mengenai topik ini adalah ijtihad beliau dalam rangka menentukan hukum yang jelas mengenai kedudukan harta pencarian dan profesi, yaitu melalui studi perbandingan dan penelitian yang sangat dalam terhadap pendapat-pendapat yang ada mengenai masalah ini sejak zaman sahabat hingga zaman sekarang. Dengan demikian ijtihad beliau adalah ijtihad yang mempunyai dasar pijakan yang kuat.

Untuk menghilangkan keragu-raguan kita selama ini terhadap harta yang kita peroleh melalu profesi kita : Apakah itu terkait dengan kewajiban zakat? Bila ya, berapa besarnya? Berapa nisabnya? Bagaimana cara pembayarannya? dll, maka sepatutnya kita dapat mengikuti apa yang dikemukakan beliau dalam bab ini. Oleh karena itu topik ini akan disampaikan secara lebih detil.

Barangkali bentuk penghasilan yang paling menyolok dewasa ini adalah apa yang diperoleh dari pencarian atau profesi, baik suatu pencarian yang tergantung oleh orang lain seperti pegawai (negeri atau swasta), atau pencarian tidak tergantung kepada pihak lain (professional), seperti halnya dokter, advokat, penjahit, seniman, dll. Jenis pekerjaan ini mendatangkan penghasilan baik berupa gaji, upah ataupun honorarium.

Perbedaan pendapat di antara para ulama dalam hal mewajibkan zakat terhadap harta pencarian dan profesi ini sudah berlangsung sejak lama. Adapun beberapa ulama modern saat ini telah beranggapan bahwa upaya menemukan hukum pasti zakat harta jenis ini adalah sangat mendesak, dikarenakan inilah jenis penghasilan yang paling banyak dijumpai saat ini. Bila tidak ini berarti kita telah melepaskan kebanyakan orang dari kewajiban zakat yang telah dinyatakan jelas kewajibannya secara umum dalam Al Quran dan Sunnah (“Hai orang-orang yang beriman keluarkanlah sebagian usaha kalian”, 2:267).

Pandangan Fikih tentang Pencarian dan Profesi (P&P)

Zakat harta P&P memang tidak ditemukan contohnya dalam hadits, namun dengan menggunakan kaidah ushul fikih dapatlah harta P&P digolongkan kepada “harta penghasilan”, yaitu kekayaan yang diperoleh seseorang Muslim melalui bentuk usaha baru yang sesuai dengan syariat agama. Harta penghasilan itu sendiri dapat dibedakan menjadi :

(1) Penghasilan yang berkembang dari kekayaan lain, misalnya uang hasil menjual poduksi pertanian yang sudah dikeluarkan zakatnya 10% atau 5% yang tentunya uang hasil penjualan tersebut tidak perlu dizakatkan pada tahun yang sama karena kekayaan asalnya (produksi pertanian tsb) sudah dizakatkan. Ini untuk mencegah terjadinya apa yang disebut double zakat.

(2) Penghasilan yang berasal karena penyebab bebas, seperti gaji, upah, honor, investasi modal dll (Insya Allah, pembahasan kita akan berkisar pada jenis harta penghasilan yang kedua ini). Karena harta yang diterima ini belum pernah sekalipun dizakatkan, dan mugnkin tidak akan pernah sama sekali bila harus menunggu setahun dulu.

Perbedaan yang menyolok dalam pandangan fikih tentang harta penghasilan ini, terutama berkaitan dengan adanya konsep “berlaku setahun” yang dianggap sebagai salah satu syarat dari harta yang wajib zakat (lihat pula posting sebelumnya mengenai syarat harta yang wajib zakat).

Sebagian pendapat mengungkapkan syarat ini berlaku untuk semua jenis harta, tapi sebagian lainnya mengungkapkan syarat ini tidak berlaku untuk seluruh jenis harta, terutama tidak berlaku untuk jenis harta penghasilan. selama diberlakukan juga ketentuan berlaku setahun itu untuk jenis harta penghasilan, maka akan sulit untuk melaksanakan kewajiban zakat untuk harta penghasilan ini.

Kelompok terakhir ini berpendapat, bahwa zakat penghasilan ini wajib dikeluarkan zakatnya langsung ketika diterima tanpa menunggu waktu satu tahun. Diantara kelompok terakhir ini adalah: Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Muawiyyah, dll, juga Umar bin Abdul Aziz.

Pendapat mana yang lebih kuat tentang kedudukan zakat P&P ini? Oleh karenanya Yusuf Al-Qaradhawy menelaah kembali hadits-hadits tentang ketentuan setahun ini dimana dijumpai ketentuan tersebut ditetapkan berdasar empat hadits dari empat shahabat, yaitu: Ali, Ibnu Umar, Anas dan Aisyah ra. Diantaranya berbunyi sbb:

Hadits dari Ali ra. dari Nabi SAW: “Bila engkau mempunyai 200 dirham dan sudah mencapai waktu setahun, maka zakatnya adalah 5 dirham,…… ”

Hadits dari Aisyah ra, Rasulullah pernah bersabda : “Tidak ada zakat pada suatu harta sampai lewat setahun”.

Tetapi ternyata hadits-hadits itu mempunyai kelemahan-kelemahan dalam sanadnya sehingga tidak bisa untuk dijadikan landasan hukum yang kuat (hadits shahih), apalagi untuk dikenakan pada jenis “harta penghasilan” karena akan bentrok dengan apa yang pernah dilakukan oleh beberapa shahabat. Adanya perbedaan pendapat di kalangan para shahabat tentang persyaratan setahun untuk zakat penghasilan juga mendukung ketidak shahihan hadits-hadits tsb.

Bila benar hadits-hadits tersebut berasal dari Nabi SAW, maka tentulah pengertian yang dapat diterima adalah : “harta benda yang sudah dikeluarkan zakatnya tidak wajib lagi zakat sampai setahun berikutnya”. zakat adalah tahunan.

Beberapa riwayat sahabat seperti Ibnu Mas’ud, menceritakan bagaimana harta penghasilan langsung dikeluarkan zakatnya ketika diterima tanpa menunggu setahun. Sehingga menjadi semakin jelas bahwa masa setahun tidak merupakan syarat, tetapi hanya merupakan tempo antara dua pengeluaran zakat. Setelah mengadakan studi perbandingan dan penelitian yang mendalam terhadap nash-nash yang berhubungan dengan status zakat untuk bermacam-macam jenis kekayaan, juga dengan memperhatikan hikmah dan maksud PEMBUAT SYARIAT yang telah mewajibkan zakat, dan diperhatikan pula kebutuhan Islam dan ummat Islam pada masa sekarang ini, maka Yusuf Al-Qaradhawy berpendapat bahwa harta hasil usaha seperti: gaji pegawai, upah karyawan, pendapatan dokter, insinyur, advokat, penjahit, seniman, dllnya wajib terkena zakat dan dikeluarkan zakatnya pada waktu diterima.

Sebagai penjelasan dari pendapat beliau terhadap masalah yang sensitif ini, Yusuf Al-Qaradhawy mengemukakan beberapa butir alasan yang dikuatkan dengan dalil.

Pembahasan ini adalah kelanjutan dari pembahasan zakat pencarian dan profesi. Point-point di bawah ini adalah alasan-alasan yang dikemukakan oleh Yusuf Al-Qaradhawy untuk menguatkan pendapat beliau bahwa harta pencarian dan profesi wajib dikeluarkan zakatnya pada saat diterima.

1. Persyaratan satu tahun dalam seluruh harta termasuk harta penghasilan tidak berdasar nash yang mencapai tingkat shahih atau hasan yang darinya bisa diambil ketentuan hukum syara’ yang berlaku umum bagi ummat.

2. Para sahabat dan tabi’in memang berbeda pendapat dalam harta penghasilan; sebagian mempersyaratkan adanya masa setahun, sedangkan sebagian lain tidak mempersyaratkannya yang berarti wajib dikeluarkan zakatnya pada saat harta penghasilan tersebut diterima seorang Muslim. Oleh karenanya persoalan tersebut dikembalikan kepada nash-nash yang lain dan kaedah-kaedah yang lebih umum.

3. Ketiadaan nash ataupun ijma’ dalam penentuan hukum zakat harta penghasilan membuat mazhab-mazhab berselisih pendapat tajam sekali, yang bila dijajagi lebih jauh justru menimbulkan berpuluh-puluh persoalan baru yang semakin merumitkan, yang seringkali hanya berdasarkan dugaan-dugaan dan tidak lagi didasarkan pada nash yang jelas dan kuat.

Semuanya membuat Yusuf Al-Qaradhawy menilai bahwa adalah tidak mungkin syariat yang sederhana yang berbicara untuk seluruh ummat manusia membawa persoalan-persoalan kecil yang sulit dilaksanakan sebagai kewajiban bagi seluruh ummat.

4. Mereka yang tidak mempersyaratkan satu tahun bagi syarat harta penghasilan wajib zakat lebih dekat kepada nash yang berlaku umum dan tegas. karena nash-nash yang mewajibkan zakat baik dari Al-quran maupun sunnah datang secara umum dan tegas dan tidak terdapat di dalamnya persyaratan setahun.

Misalnya : “Hai orang-orang yang beriman keluarkanlah sebagian usaha kalian” (2:267). Kata “ma kasabtum” merupakan kata umum yang artinya mencakup segala macam usaha: perdagangan atau pekerjaan dan profesi.

Para ulama fikih berpegang pada keumuman maksud ayat tersebut sebagai landasan zakat perdagangan, yang oleh karena itu kita tidak perlu ragu memakainya sebagai landasan zakat pencarian dan profesi.

Bila para ulama fikih talah menetapkan setahun sebagai syarat wajib zakat perdagangan (maaf, zakat perdagangan tidak saya tayangkan dalam serial ini), karena antara pokok harta dengan laba yang dihasilkan tidak dipisahkan, sementara laba dihasilkan dari hari ke hari bahkan dari jam ke jam. Lain halnya dengan gaji atau sebangsanya yang diperoleh secara utuh, tertentu dan pasti.

5. Disamping nash yang berlaku umum dan mutlak memberikan landasan kepada pendapat mereka yang tidak menjadikan satu tahun sebagai syarat harta penghasilan untuk wajib zakat, Qias yang benar juga mendukungnya. Kewajiban zakat uang atau sejenisnya pada saat diterima seorang Muslim diqiaskan dengan kewajiban zakat pada tanaman dan buah-buahan pada waktu panen.

6. Pemberlakuan syarat satu tahun bagi zakat harta penghasilan berarti membebaskan sekian banyak pegawai dan pekerja profesi dari kewajiban membayar zakat atas pendapatan mereka yang besar, karena mereka itu akan menjadi dua golongan saja : yang menginvestasikan pendapatan mereka terlebih dahulu, dan yang berfoya-foya dan menghamburkan semua penghasilannya sehingga tidak mencapai masa wajib zakatnya.

Itu berarti zakat hanya dibebankan pada orang-orang yang hemat saja, yang membelanjakan kekayaan seperlunya, yang mempunyai simpanan sehingga mencapai masa zakatnya. Hal ini jauh sekali dari maksud kedatangan syariat yang adil dan bijak, dimana hal ini justru memperingan beban orang-orang pemboros dan memperberat orang-orang yang hidup sederhana.

7. Pendapat yang menetapkan setahun sebagai syarat harta penghasilan jelas terlihat saling kontradiksi yang tidak bisa diterima oleh keadilan dan hikmat islam mewajibkan zakat. Misalnya seorang petani menanam tanaman pada tanah sewaan (maaf lagi, zakat pertanian juga tidak bisa ditayangkan), hasilnya dikenakan zakat sebanyak 10% atau 5%, sedangkan pemilik tanah yang dalam satu jam kadang-kadang memperoleh beratus ratus dinar berupa uang sewa tanah tersebut tidak dikenakan zakat berdasarkan fatwa-fatwa dalama mazhab-mazhab yang ada, dikarenakan adanya persyaratan setahun bagi penghasilan tersebut sedangkan jumlah itu jarang bisa terjadi di akhir tahun. Begitu pula halnya dengan seorang dokter, insinyur, advokat, pemilik mobil angkutan, pemilik hotel, dll. Sebab pertentangan itu adalah sikap yang terlalu mengagungkan pendapat-pendapat fikih yang tidak terjamin dan tidak terkontrol berupa hasil ijtihad para ulama. Kita tidak yakin bila mereka hidup pada zaman sekarang dan menyaksikan apa yang kita saksikan, apakah mereka akan meralat ijtihad mereka dalam banyak masalah.

8. Pengeluaran zakat penghasilan setelah diterima akan lebih menguntungkan fakir miskin dan orang-orang yang berhak lainnya. Ini akan menambah besar perbendaharaan zakat dan juga memudahkan pemiliknya dalam mengeluarkan zakatnya. Cara yang dinamakan oleh para ahli perpajakan dengan “Penahanan pada Sumber” sudah dipraktekan oleh Ibn Mas’ud, Mu’awiyah dan juga Umar bin Abdul Aziz yaitu dengan memotong gaji para tentara dan orang-orang yang di bawah kekuasaan negara saat itu.

9. Menegaskan bahwa zakat wajib atas penghasilan sesuai dengan tuntunan Islam yang menanamkan nilai-nilai kebaikan, kemauan berkorban, belas kasihan dan suka memberi dalam jiwa seorang Muslim. Pembebasan jenis-jenis penghasilan yang berkembang sekarang ini dari zakat dengan menunggu masa setahunnya, berarti membuat orang-orang hanya bekerja, berbelanja dan bersenang-senang, tanpa harus mengeluarkan rezeki pemberian Tuhan dan tidak merasa kasihan kepada orang yang tidak diberi nikmat kekayaan itu dan kemampuan berusaha.

10. Tanpa persyaratan setahun bagi harta penghasilan akan lebih menguntungkan dari segi administrasi baik bagi orang yang mengeluarkan maupun pihak amil yang memungut zakat. Persyaratan satu tahun bagi zakat penghasilan, menyebabkan setiap orang harus menentukan jatuh tempo pengeluaran setiap jumlah kekayaannya yang diterimanya. Ini berarti bahwa seseorang Muslim bisa mempunyai berpuluh-puluh masa tempo masing-masing kekayaan yang diperoleh pada waktu yang berbeda-beda. Ini sulit sekali dilakukan, dan sulit pula bagi pemerintah memungut dan mengatur zakat yang yang dengan demikian zakat tidak bisa terpungut dan sulit dilaksanakan (Nantikan pula posting “Cara Membayar Zakat”).

Demikian alasan yang dikemukakan beliau. Kalau ada yang mau protes silahkan, tapi jangan ke saya lho. Bila ada yang setuju dengan pendapat Yusuf Al-Qaradhawy ini, maka silahkan mulai mengeluarkan zakat saat ini juga, baik dari stipend yang diperoleh, honor, dll. Mari ber Fastabikhul Khairat dalam berzakat.

Pembahasan berikut ini adalah bagian akhir dari kaji kita mengenai zakat pencarian dan profesi, yaitu membahas ukuran nisab dan besarnya zakat serta cara pembayaran yang mungkin dilakukan oleh kita para professional.

Penghasilan dari profesi itu sendiri tidaklah selalu mudah diperoleh seperti halnya para dokter, banyak pula diantaranya yang diperoleh dengan susah payah, misalnya penjahit, supir, dll, sehingga perlu diketahui pula nisab dan besar zakatnya.

Nisab dan Besarnya Zakat Pencarian dan Profesi

Seteleh menetapkan harta penghasilan dari pencarian dan profesi adalah wajib zakat, yusuf Al-Qaradhawy menjelaskan pula berapa besar nisab buat jenis harta ini, yaitu 85 GRAM EMAS seperti hal besarnya nisab uang (yang telah kita kaji sebelumnya). Demikian pula dengan besarnya zakat adalah seperempatpuluh (2.5%) sesuai dengan keumumman nash yang mewajibkan zakat uang sebesar itu.

Maka tinggal satu persoalan lagi !!!

Orang-orang yang memiliki profesi itu menerima pendapatan mereka tidak teratur, bisa setiap hari seperti dokter, atau pada saat-saat tertentu seperti seorang advokat, kontraktor dan penjahit, atau secara regular mingguan atau bulanan seperti kebanyakan para pegawai (seperti kita yang anggota korpri-)).

Bila nisab di atas ditetapkan untuk setiap kali upah, gaji yang diterima, berarti kita akan membebaskan kebanyakan golongan profesi yang menerima gaji beberapa kali pembayaran dan jarang sekali cukup nisab dari kewajiban zakat. Sedangkan bila seluruh gaji itu dalam satu waktu tertentu itu dikumpulkan akan cukup senisab bahkan akan mencapai beberapa nisab.

Adapun waktu penyatuan dari penghasilan itu yang dimungkinkan dan dibenarkan oleh syariat itu adalah satu tahun. Dimana zakat dibayarkan setahun sekali. Fakta juga menunjukkan bahwa pemerintah mengatur gaji pegawainya berdasarkan ukuran tahun, meskipun dibayarkan per bulan karena kebutuhan pegawai yang mendesak. Jangan lupa bahwa yang diukur nisabnya adalah penghasilan bersih, yaitu penghasilan yang telah dikurangi dengan kebutuhan biaya hidup terendah atau kebutuhan pokok seseorang berikut tanggungannya (lihat posting syarat harta yang wajib zakat), dan juga setelah dikurangi untuk pembayaran hutang (ini hutang bukan karena kredit barang mewah lho, tapi karena untuk memenuhi kebutuhan pokok/primer seperti halnya bayar kredit rumah BTN, hutang nunggak bayaran sekolah anak, dll).

Bila penghasilan bersih itu dikumpulkan dalam setahun atau kurang dalam setahun dan telah mencapai nisab, maka wajib zakat dikeluarkan 2.5% nya. Bila seseorang telah mengeluarkan zakatnya langsung ketika menerima penghasilan tsb (karena yakin dalam waktu setahun penghasilan bersihnya akan lebih dari senisab), maka tidak wajib lagi bagi dia mengeluarkannya di akhir tahun (karena akan berakibat double zakat). Selanjutnya orang tsb harus membayar zakat dari penghasilan tsb pada tahun kedua dalam bentuk kekayaan yang berbeda-beda.

  • Bila kelebihan itu disimpan dalam bentuk uang, emas dan perak, maka kaji kita akan kembali pada pembahasan mengenai zakat uang, emas dan perak.

  • Bila kelebihan itu diinvestasikan (pabrik, gedung, rumah yang disewakan, kendaraan yang disewakan, dll), kita perlu membahas zakat investasi.

  • Bila harta tsb selanjutnya diputar dalam perdagangan maka zakatnya dibahas dalam zakat perdagangan.

  • Bila dibelikan saham atau obligasi, maka zakatnya dibahas dalam zakat saham dan obligasi.

  • Bila dibelanjakan untuk sesuatu yang dipergunakan sehari-hari atau yang tidak mempunyai potensi berkembang, maka tidak ada kewajiban zakat lagi pada tempo yang kedua ini.

Demikian saja yang bisa saya sarikan mengenai Zakat Pencarian dan Profesi. Berikut ini cara simple untuk kalkulasi yang bisa digunakan oleh Ikhwan sekalian.
Penerimaan kotor selama setahun : A
Kebutuhan pokok setahun : B
Hutang-hutang yang dibayar dalam setahun : C
Penghasilan bersih setahun : A-(B+C) = D
Bila D > atau = dengan nilai 85 gram mas, maka wajib zakat yaitu 2.5% X D.
Bila D < nilai 85 gram emas, maka tidak wajib zakat.

Jadi bila kita yakin bahwa perkiraan besarnya D yang kita miliki dalam setahun adalah lebih besar dari 85 gram emas, maka kita tidak perlu lagi ragu-ragu mengeluarkan zakat langsung ketika diterima. Misalnya dari gaji bulanan diambil 2.5 % dari D/12 (karena perbulan).

Bila disamping gaji bulanan kita memperoleh tambahan penghasilan lain dari profesi kita, misalnya bagi dosen universitas negeri yang juga mengajar di universitas swasta. Misalkan memperoleh sebesar E dalam setahun, maka zakatnya adalah 2.5 % x (D+E), karena seluruh kebutuhan B dan C sudah tercover sebelumnya yang menghasilkan D.

Perlu diingat bahwa ini hanya zakat kita dari penghasilan pencarian dan profesi. Bentuk-bentuk kekayaan lain yang kita miliki seperti; peternakan, pertanian, investasi, emas dan perak, uang tabungan, saham, obligasi, perdagangan dll, juga harus dikeluarkan zakatnya dengan ukuran nisab dan besar zakat yang berbeda satu dengan lainnya. Dan saya mohon maaf karena tidak bisa membahas semua jenis kekayaan tsb.

Sari Penting Kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawy

Sasaran Zakat

Walaupun tidak begitu penting untuk diketahui oleh umumnya kita semua, apa saja sasaran-sasaran zakat menurut Qur’an, tapi saya akan mensarikan secara singkat untuk memperjelas hal-hal yang mungkin masih rancu di kalangan ummat Islam. Khususnya bagi Ikhwan yang terlibat atau akan melibatkan diri dalam masalah zakat ini pada unit-unit zakat di lingkungan kerja, tempat tinggal atau keluarga masing-masing, maka topik ini menjadi penting. Dapat dikatakan bahwa upaya mendistribusikan zakat adalah jauh lebih sulit dan kompliketed dari pada sekedar mengumpulkan. Dalam buku Yusuf Al-Qaradhawy topik ini tercakup dalam Bagian IV : Sasaran Zakat yang diuraikan lebih dari 220 halaman.

Sebagaimana yang diterangkan dalam QS 9:60, sassaran zakat ada 8 golongan : fakir, miskin, amil zakat, golongan muallaf, memerdekakan budak belian, orang yang berutang, di jalan Allah, dan ibnu sabil. Sasaran zakat ini sangat penting dalam pandangan Islam, sehingga terdapat hadits yang menjelaskan bahwa untuk menentukan sasaran zakat ini seakan-akan Allah tidak rela bila Rasulullah SAW menetapkannya sendiri, sehingga Allah SWT menurunkan ayat 9:60 tsb.

Fakir dan Miskin

Siapakah yang disebut fakir dan miskin ?

Terdapat beragam definisi mengenai kata fakir dan miskin, tapi secara umum fakir dan miskin itu adalah mereka yang kebutuhan pokoknya tidak tercukupi sedangkan mereka secara fisik tidak mampu bekerja atau tidak mampu memperoleh pekerjaan.

Golongan ini dapat dikatakan sebagai inti sasaran zakat (Hadits: … zakat yang diambil dari orang kaya dan diberikan kepada orang miskin).

Selanjutnya kita dianjurkan pula untuk lebih memperhatikan orang-orang miskin yang menjaga diri dan memelihara kehormatan. Sesuai hadits:

“Orang miskin itu bukanlah mereka yang berkeliling minta-minta agar diberi sesuap dua suap nasi, satu dua biji kurma, tapi orang miskin itu ialah mereka yang hidupnya tidak berkecukupan kemudian diberi sedekah, dan merekapun tidak pergi meminta-minta pada orang” (Bukhari Muslim)

Fakir miskin hendaklah diberikan harta zakat yang mencukupi kebutuhannya sampai dia bisa menghilangkan kefakirannya. Bagi yang mampu bekerja hendaknya diberikan peralatan dan lapangan pekerjaan. Sedangkan bagi yang tidak mampu lagi bekerja (orang jompo, cacat fisik), hendaknya disantuni seumur hidupnya dari harta zakat. Maka jelaslah bahwa tujuan zakat bukanlah memberi orang miskin satu atau dua dirham, tapi maksudnya ialah memberikan tingkat hidup yang layak. Layak sebagai manusia yang didudukan Allah sebagai khalifah di bumi, dan layak sebagai Muslim yang telah masuk ke dalam agama keadilan dan kebaikan, yang telah masuk ke dalam ummat pilihan dari kalangan manusia.

Tingkat hidup minimal bagi seseorang ialah dapat memenuhi makan dan minum yang layak untuk diri dan keluarganya, demikian pula pakaian untuk musim dingin dan musim panas, juga mencakup tempat tinggal dan keperluan-keperluan pokok lainnya baik untuk diri dan tanggungannya.

Wah, tentunya banyak sekali harta zakat yang harus dikumpulkan, sementara ini ummat Islam, ambil contoh di Indonesia, masih sangat minim dalam menunaikan kewajiban ini.

Aml Zakat

Amil merupakan sasaran berikutnya setelah fakir miskin (9:60). Amil adalah mereka yang melaksanakan segala kegiatan urusan zakat, dimana Allah menyediakan upah bagi mereka dari harta zakat sebagai imbalan. Dimasukkannya amil sebagai asnaf menunjukkan bahwa zakat dalam islam bukanlah suatu tugas yang hanya diberikan kepada seseorang (individual), tapi merupakan tugas jamaah (bahkan menjadi tugas negara). Zakat punya anggaran khusus yang dikeluarkan daripadanya untuk gaji para pelaksananya.

Syarat Amil :
1. Seorang Muslim
2. Seorang Mukallaf (dewasa dan sehat pikiran)
3. Jujur
4. Memahami Hukum Zakat
5. Berkemampuan untuk melaksanakan tugas
6. Bukan keluarga Nabi (sekarang sudah nggak ada nih)
7. Laki-laki
8. Sebagian ulama mensyaratkan amil itu orang merdeka (bukan hamba)

Tugas Amil :
Semua hal yang berhubungan dengan pengaturan zakat. Amil mengadakan sensus berkaitan dengan:
1. orang yang wajib zakat,
2. macam-macam zakat yang diwajibkan
3. besar harta yang wajib dizakat
4. Mengetahui para mustahik : Jumlahnya, jumlah kebutuhan mereka dan jumlah biaya yang cukup untuk mereka.

Berapa besar bagian buat amil ini :
Amil tetap diberi zakat walau ia kaya, karena yang diberikan kepadanya adalah imbalan kerjanya bukan berupa pertolongan bagi yang membutuhkan. Amil itu adalah pegawai, maka hendaklah diberi upah sesuai dengan pekerjaannya, tidak terlalu kecil dan tidak juga berlebihan. Pendapat yang terkuat yang diambil Yusuf Qardawy adalah pendapat Imam Syafi’i, yaitu maksimal sebesar 1/8 bagian. Kalau upah itu lebih besar dari bagian tersebut, haruslah diambilkan dari harta diluar zakat, misalnya oleh pemerintah dibayarkan dari sumber pendapatan pemerintah lainnya.

Gharimin

Gharimin dapat terbagi dua :

  1. Orang yang berhutang untuk kemaslahatan sendiri (seperti untuk nafkah keluarga, sakit, mendirikan rumah dlsb). Termasuk didalamnya orang yang terkena bencana sehingga hartanya musnah. Beberapa syarat gharimin ini :

    1. Hendaknya ia mempunyai kebutuhan untuk memiliki harta yang dapat membayar utangnya.

    2. Orang tsb berhutang dalam melaksanakan ketaatan atau mengerjakan sesuatu yang diperbolehkan syariat.

    3. Hutangnya harus dibayar pada waktu itu. Apabila hutangnya diberi tenggang waktu dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama apakah orang yang berhutang ini dapat dikategorikan sebagai mustahik.

    4. Kondisi hutang tsb berakibat sebagai beban yang sangat berat untuk dipikul.

    Berapa besar orang yang berhutang harus diberikan ? Orang yang berhutang karena kemaslahatan dirinya harus diberi sesuai dengan kebutuhannya. Yaitu untuk membayar lunas hutangnya. Apabila ternyata ia dibebaskan oleh yang memberi hutang, maka dia harus mengembalikan bagiannya itu. Karena ia sudah tidak memerlukan lagi (untuk membayar hutang). Sesungguhnya Islam dengan menutup utang orang yang berhutang berarti telah menempatkan dua tujuan utama :

    1. Mengurangi beban orang yang berutang dimana ia selalu menghadapi kebingungan di waktu malam dan kehinaan di waktu siang.

    2. Memerangi riba.
  2. Orang yang berhutang untuk kemaslahatan orang lain. Umumnya hal ini dikaitkan dengan usaha untuk mendamaikan dua pihak yang bersengketa, namun tidak ada dalil syara’ yang mengkhususkan gharimin hanya pada usaha mendamaikan tsb. Oleh karenanya orang yang berhutang karena melayani kepentingan masyarakat hendaknya diberi bagian zakat untuk menutupi hutangnya, walaupun ia orang kaya. Jadi bagi kita yang mengambil kredit TV misalnya, tentunya tidak termasuk kaum gharimin yang menjadi sasaran zakat. Karena kita bukannya sengsara karena hutang, tapi justru menikmatinya.

Fisabilillah

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai definisi “Fisabilillah” yang menjadi sasaran zakat dalam ayat 9:60. Apakah harus digunakan definisi dalam arti sempit yaitu “jihad”, atau definisi dalam arti luas yaitu “segala bentuk kebaikan dijalan Allah”.

Kesepakatan Madzhab Empat tentang Sasaran Fisabilillah.

  1. Jihad secara pasti termasuk dalam ruang lingkup Fisabilillah.
  2. Disyariatkan menyerahkan zakat kepada pribadi Mujahid, berbeda dengan menyerahkan zakat untuk keperluan jihad dan persiapannya. Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan mereka.

  3. Tidak diperbolehkan menyerahkan zakat demi kepentingan kebaikan dan kemaslahatan bersama, seperti mendirikan dam, jembatan, masjid dan sekolah, memperbaiki jalan, mengurus mayat dll. Biaya untuk urusan ini diserahkan pada kas baitul maal dari hasil pendapatan lain seperti harta fai, pajak, upeti, dsb.

Namun beberapa ulama lain telah meluaskan arti sabilillah ini seperti : Imam Qaffal, Mazhab Ja’fari, Mazhab Zaidi, Shadiq Hassan Khan, Ar Razi, Rasyid Ridha dan Syaltut, dll.

Setelah mengkaji perbedaan-perbedaan pendapat ini, dan juga merujuk pengertian kata fisabilillah yang tertera dalam ayat-ayat Al Qur’an, maka sampailah Yusuf Qardhawi pada kesimpulan sbb :

Pendapat yang dianggap kuat adalah, bahwa makna umum dari sabilillah itu tidak layak dimaksud dalam ayat ini, karena dengan keumumannya ini meluas pada aspek-aspek yang banyak sekali, tidak terbatas sasarannya dan apalagi terhadap orang-orangnya. Makna umum ini meniadakan pengkhususan sasaran zakat delapan, dan sebagaimana hadits Nabi yang berbunyi : “Sesungguhnya Allah tidak meridhoi hukum Nabi dan hukum lain dalam masalah sedekah, sehingga Ia menetapkan hukumnya dan membaginya pada delapan bagian”.

Seperti halnya sabilillah dengan arti yang umum itu akan meliputi pemberian pada orang-orang fakir, miskin dan asnaf-asnaf lain, karena itu semua termasuk kebajikan dan ketaatan kepada Allah. Kalau demikian apa sesungguhnya perbedaan antara sasaran ini dengan sasaran sesudah dan yang sebelumnya ? Sesungguhnya Kalamullah yang sempurna dan mu’jiz pasti terhindar dari pengulangan yang tidak ada faedahnya. karenanya pasti yang dimaksud disini adalah makna yang khusus, yang membedakannya dari sasaran-sasaran lain.

Makna yang khusus ini tiada lain adalah jihad, yaitu jihad untuk membela dan menegakkan kalimat Islam dimuka bumi ini. Setiap jihad yang dimaksudkan untuk menegakkan kalimat Allah termasuk sabilillah, bagaimanapun keadaan dan bentuk jihad serta senjatanya.

Kemudian Yusuf Al-Qaradhawy memperluas arti Jihad ini tidak hanya terbatas pada peperangan dan pertempuran dengan senjata saja, namun termasuk juga segala bentuk peperangan yang menggunakan akal dan hati dalam membela dan mempertahankan aqidah Islam. Contoh : “Mendirikan sekolah berdasarkan faktor tertentu adalah perbuatan shaleh dan kesungguhan yang patut disyukuri, dan sangat dianjurkan oleh Islam, akan tetapi ia tidak dimasukkan dalam ruang lingkup JIHAD.

Namun demikian, apabila ada suatu negara dimana pendidikan merupakan masalah utama, dan yayasan pendidikan telah dikuasai kaum kapitalis, komunis, atheis ataupun sekularis, maka jihad yang paling utama adalah mendirikan madrasah yang berdasarkan ajaran Islam yang murni, mendidik anak-anak kaum Muslimin dan memeliharanya dari pencangkokan kehancuran fikiran dan akhlaq, serta menjaganya dari racun-racun yang ditiupkan melalui kurikulum dan buku-buku, pada otak-otak pengajar dan ruh masyarakat yang disahkan di sekolah-sekolah pendidikan secara keseluruhan.

Sebaliknya tidak semua peperangan termasuk kategori sabilillah, yaitu peperangan yang ditujukan untuk selain membela agama Allah, seperti halnya perang yang sekedar membela kesukuan, kebangasaan, atau membela kedudukan.

Kemana dipergunakan Bagian Sabilillah di zaman sekarang ?

  • Membebaskan Negara Islam dari hukum orang kafir
  • Bekerja mengembalikan Hukum Islam termasuk Jihad Fisabi-lillah, diantaranya melalui pendirian pusat kegiatan Islam yang mendidik pemuda Muslim, menjelaskan ajaran Islam yang benar, memelihara aqidah dari kekufuran dan mempersiapkan diri untuk membela Islam dari musuh-musuhnya. Mendirikan percetakan surat khabar untuk menandingi berita-berita yang merusak dan menyesatkan ummat. Dll.

Demikian saja yang dapat dibahas dari 8 golongan sasaran zakat. Berikut ini adalah kesimpulan dari pembahasan mengenai persoalan distribusi zakat yang diperoleh, apakah harus dibagi sama rata ke 8 golongan tsb, atau bisa ada kebijakan lain. Setelah mendalami perbedaan pendapat di antara para ulama dalam masalah ini, akhirnya Yusuf Al-Qaradhawy berkesimpulan sbb:

  1. Harta zakat yang terkumpul mestilah dibagikan pada semua mustahik, apabila harta itu banyak dan semua sasaran ada, kebutuhannya sama atau hampir sama. Tidak boleh ada satu sasaranpun yang boleh dihalangi untuk mendapatkan, apabila itu merupakan haknya serta benar-benar dibutuhkan. Dan ini hanya berlaku bagi Imam atau Hakim agama yang mengumpulkan zakat dan membagikannya pada mustahik.

  2. Ketika diperkirakan ada dalam kenyataannya semua (delapan) mustahik itu, maka tidak wajib mempersamakan antara semua sasaran dalam pemberiannya. Itu semua hanya tergantung pada jumlah dan pada kebutuhannya. Sebab terkadang ada pada suatu daerah seribu orang fakir, sementara dari orang yang berhutang atau ibnu sabil hanya sepuluh orang. Maka bagaimana mungkin pembagian untuk sepuluh orang harus sama dengan orang yang seribu ? Karenanya kita melihat, yang paling tepat dalam masalah ini adalah pendapat Imam Malik dan yang sebelumnya, yaitu Ibnu Syihab, yang mendahulukan sasaran yang paling banyak jumlahnya dan kebutuhannya dengan bagian yang besar.

  3. Diperbolehkan memberikan semua zakat, tertuju pada sebagian sasaran tertentu saja, untuk mewujudkan kemaslahatan yang sesuai dengan syara’ – yang meminta pengkhususan itu – sebagaimana halnya ketika ia memberikan zakat kepada salah satu sasaran saja, iapun tidak diwajibkan menyamaratakan pemberian itu pada individu yang diberinya. Akan tetapi boleh melebihkan antara yang satu dengan yang lain sesuai dengan kebutuhan.

  4. Hendaknya golongan fakir dan miskin adalah sasaran pertama yang harus menerima zakat, karena memberi kecukupan kepada mereka, merupakan tujuan utama dari zakat, sehingga Rasulullah saw tidak menerangkan dalam hadis Muadz dan juga hadis lain selain sasaran ini: ” Zakat itu diambil dari orang yang kaya dan diberikan pada orang fakir”. Hal ini dikarenakan sasaran ini membutuhkan perhatian yang khusus. Tidak dibenarkan misalnya seseorang hakim mengambil harta zakat kemudian dibelanjakan untuk tentara, dan membiarkan golongan yang lemah yang membutuhkan dari golongan fakir miskin.

  5. Hendaknya mengambil pendapat madzhab Syafii dalam menentukan batas yang paling tinggi yang diberikan kepada petugas yang menerima dan membagikan zakat itu, yaitu 1/8 dari hasil zakat, tidak boleh lebih dari itu.

  6. Apabila harta zakat itu sedikit, seperti harta perorangan yang tidak begitu besar, maka dalam keadaan demikian itu zakat diberikan pada satu sasaran saja, sebagaimana yang dikemukakan oleh an-Nakha’i dan Abu Tsaur, bahkan diberikan pada satu individu, sebagaimana dikemukakan oleh Abu Hanifah, agar pemberian itu dapat mencukupi kebutuhan si mustahik. Karena membagikannya harta yang sedikit, untuk sasaran yang banyak atau orang yang banyak dari satu sasaran, sama dengan menghilangkan kegunaan yang diharapkan dari zakat itu sendiri. Hal ini lebih baik daripada memberi kepada orang banyak, masing-masing beberapa dirham. Pemberian itu tidak menyembuhkan dan tidak mencukupi.

Sari Penting Kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawy

Kewajiban Lain Di Luar Zakat

Berikut ini secara sangat ringkas disarikan Bagian VIII dari buku Fikih Zakat karya Yusuf Al-Qaradhawy.

Bab inilah yang akhirnya menyimpulkan bahwa zakat itu hanya kewajiban minimal dari harta seorang Muslim, atau menurut Ustadz Didin Hafidhuddin (penterjemah buku ini) zakat adalah batas kekikiran seorang muslim. Sehingga adalah salah kaprah bila dikatakan orang yang berzakat adalah orang yang dermawan, karena sesungguhnya dia baru terlepas dari batas kekikirannya.

Umumnya para ahli fikih berpendapat bahwa zakat adalah satu-satunya kewajiban atas harta. Barangsiapa telah berzakat, maka bersihlah hartanya dan bebaslah kewajibannya. Dan ia pun tidak punya kewajiban lagi, bila zakat tekah ditunaikan, kecuali sedekah sunat. Inilah pendapat yang termasyhur di kalangan para ahli fikih periode muta’akhirin.

Namun demikian golongan lainnya sejak zaman sahabat sampai masa tabi’in berpendapat bahwa dalam harta ada kekayaan ada kewajiban lain selain zakat. Pendapat tsb datang dari Umar, Abu Dzar, Aisyah, Ibnu Umar, Abu Hurairah, dll shahabat dan para tabiin.

Dalil-dalil yang mereka gunakan antara lain :

1. QS 2:177, dimana pada ayat ini Allah mengajarkan tenang kebaikan hakiki dan agama yang benar dengan mensejajarkan : (a) pemberian harta yang dicintai kepada kerabat, anak-anak yatim, orang miskin, musafir, orang yang meminta-minta dan memerdekakan hamba sahaya, dengan (b) Iman kepada Allah, hari kemudian, malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan menepati janji, dll.

Point-point dalam group (a) di atas : (1) bukannya hal yang sunnah, tapi termasuk pokok-pokok yang fardhu, karena disejajarkan dengan hal-hal yang fardhu dan (2) bukan termasuk zakat, karena zakat disebutkan tersendiri juga.

2. Hadits-hadits shahih mengenai hak tamu atas tuan rumah. Perintah menghormati tamu menunjukkan wajib karena perintah itu dikaitkan dengan iman, dan setelah tiga hari dianggap sebagai sedekah.

3. Ayat Quran yang mengancam orang yang menolak memberi pertolongan kepada mereka yang memerlukan, seperti halnya dalam surat Al Maun, dimana Allah mangaggap celaka bagi orang enggan menolong dengan barang yang berguna bersamaan dengan orang yang berbuat ria (yang dalam beberapa hadits selanjutnya diterangkan Al’Maun tsb walaupun hanya berupa timba, dandang, atau kampak).

4. Dll.

Yusuf Al-Qaradhawy sendiri termasuk orang yang menegaskan bahwa masih ada kewajiban lain terhadap harta kita diluar zakat. Hal mana dibutuhkan untuk merealisasikan sifat sayang-menyayangi, tolong-menolong, setia kawan, dan berbuat baik yang diperintahkan oleh Quran dan Hadits. Agar warga masyarakat dapat memperoleh tingkat hidup yang layak.

Apabila hasil zakat dan pendapatan negara lainnya mencukupi untuk menutupi kebutuhan mereka, maka Allah SWT tidak menuntut hak yang lain dari orang Mu’min untuk para fakir miskin. Tetapi apabila itu tidak mencukupi, maka wajib kepada mereka yang kaya untuk menjamin kebutuhan mereka, baik dalam hubungan kerabat dekat, tetangga dan hubungan-hubungan lainnya. Apabila sebagian mereka telah menunaikan kewajiban ini atas dorongan iman mereka, maka gugurlah dosa dari yang lain (Jadi dapat diartikan sebagai fardhu kifayah). Tapi kalau kewajiban ini tidak tertunaikan, maka pemerintah atas nama Islam diwajibkan turun tangan untuk menanggulangi keperluan fakir miskin ini yang diminta dari mereka yang kaya.

Sari Penting Kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawy

Hakikat, Asas dan Teori, Serta Objek Pajak Dan Zakat

Pajak ialah kewajiban yang ditetapkan terhadap wajib pajak, yang harus disetorkan kepada negara sesuai dengan ketentuan, tanpa mendapat prestasi kembali dari negara dan hasilnya untuk membiayai pengeluaranpengeluaran umum di satu pihak dan untuk merealisir sebagian tujuan ekonomi, sosial, politik dan tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai negara.

Zakat ialah hak tertentu yang diwajibkan Allah SWT terhadap kaum Muslimin yang diperuntukkan bagi mereka, yang dalam Quran disebut kalangan fakir miskin dan mustahik lainnya, sebagai tanda syukur atas nikmat Allah SWT dan untuk mendekatkan diri kepadaNya, serta untuk membersihkan diri dan hartanya.

Dapat dipetik beberapa titik persamaan antara zakat dan pajak :

  1. Adanya unsur paksaan untuk mengeluarkan
  2. Keduanya disetorkan kepada lembaga pemerintah (dalam zakat dikenal amil zakat)

  3. Pemerintah tidak memberikan imbalan tertentu kepada si pemberi.
  4. Mempunyai tujuan kemasyarakatan, ekonomi dan politik disamping tujuan keuangan.

Adapun segi perbedaannya :

  1. Dari segi nama dan etiketnya yang memberikan motivasi yang berbeda.
    Zakat : suci, tumbuh. Pajak (dharaba) : upeti.

  2. Mengenai hakikat dan tujuannya
    Zakat juga dikaitkan dengan masalah ibadah dalam rangka pendekatan diri kepada Allah.

  3. Mengenai batas nisab dan ketentuannya.
    Nisab zakat sudah ditentukan oleh sang Pembuat Syariat, yang tidak bisa dikurangi atau ditambah-tambahi oleh siapapun juga. Sedangkan pada pajak bisa hal ini bisa berubah-ubah sesuai dengan polcy pemerintah.

  4. Mengenai kelestarian dan kelangsungannya
    Zakat bersifat tetap dan terus menerus, sedangkan pajak bisa berubah-ubah.

  5. Mengenai pengeluarannya
    Sasaran zakat telah terang dan jelas. Pajak untuk pengeluaran umum negara.

  6. Hubungannya dengan penguasa
    Hubungan wajib pajak sangat erat dan tergantung kepada penguasa. Wajib zakat berhubungan dengan Tuhannya. Bila penguasa tidak berperan, individu bisa mengeluarkannya sendiri-sendiri.

  7. Maksud dan tujuan
    Zakat memiliki tujuan spiritual dan moral yang lebih tinggi dari pajak. Berdasarkan point-point di atas dapatlah dikatakan bahwa “zakat adalah ibadat dan pajak sekaligus”. Karena sebagai pajak, zakat merupakan kewajiban berupa harta yang pengurusannya dilakukan oleh negara. Negara memintanya secara paksa, bila seseorang tidak mau membayarnya sukarela, kemudian hasilnya digunakan untuk membiayai proyek-proyek untuk kepentingan masyarakat.

Apa yang coba diterangkan dalam masalah perpajakan dewasa ini telah dilaksanakan Islam jauh sebelumnya. Inilah syariat yang berasal dari Pembuat Syariat yang Maha Tahu. Berikut ini adalah salah satu bab dalam buku Yusuf Al-Qaradhawy yang mengupas hal tsb.

Sari Penting Kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawy

Prinsip Keadilan Antara Pajak Dan Zakat

Para ahli ekonomi keuangan menyerukan agar dalam masalah perpajakan hendaknya tetap memegang prinsip dan kaedah yang dapat menghalangi timbulnya penipuan dan kecurangan sehingga menepati prinsip keadilan, disamping itu dapat mencapai sasaran yang tepat dengan tidak memberatkan pihak wajib pajak disatu segi dan pihak pelaksana administrasi keuangan di sisi lain. Hal ini ternyata sudah diterapkan Islam dalam mekanisme zakat jauh sebelumnya.

Dikenal empat prinsip yang mesti diperhatikan dalam soal perpajakan, yaitu : keadilan, kepastian, kelayakan dan ekonomis.

Tentang Keadilan

Ini merupakan prinsip pertama yang wajib diperhatikan dalam setiap pajak yang dikenakan pada masyarakat. Prinsip yang sesuai dengan syariat Islam, dimana Islam menuntutnya dalam segala hal. Prinsip keadilan ini dijumpai pada :

1. Sama rata dalam kewajiban zakat
Setiap Muslim yang mempunyai satu nisab zakat adalah wajib zakat tanpa memandang bangsa, warna kulit, keturunan atau kedudukan dalam masyarakat, laki-laki, perempuan, pemerintah, yang diperintah, pemimpin agama, pemimpin negara, semua sama.

2. Membebaskan harta yang kurang dari nisab

3. Larangan berzakat dua kali
Banyak hadits yang menerangkan larangan ini. Dalam studi perpajakan dikenal dengan nama : “Larangan Pajak Double”.

4. Besar zakat sebanding dengan besar tenaga yang dikeluarkan.
Semakin mudah memperoleh, semakin besar zakatnya, seperti halnya zakat pertanian ada yang 10% dan 5%. Prinsip ini masih belum begitu dihiraukan oleh para ahli keuangan.

5. Memperhatikan kondisi dalam pembayaran
Dengan juga memperhatikan besarnya pendapatan, beban keluarga, hutang-hutang yang dimiliki, dipungut dari pendapatan bersih, dll.

6. Keadilan dalam praktek
Islam memberikan perhatian istimewa dan hati-hati terhadap pelaksana pemungut zakat (amil), yaitu dengan persyaratan yang tinggi untuk menjadi amil, dan posisi yang mulia bagi mereka, seperti hadits sbb : “Orang yang bekerja memungut sedekah dengan benar adalah seperti orang yang berperang di jalan Allah” (Hadits shahih).

Tentang Kepastian

Pengetahuan para subjek pajak tentang kewajiban-kewajibannya hendaklah pasti, tak boleh ada keraguan sedikitpun, sebab ketidakpastian dalam sistem pajak apapun sangat membahayakan bagi tegaknya keadilan dalam distribusi beban pajak. Kepastian itu sangat erat hubungannya dengan kestabilan pajak. Dalam mekanisme zakat tidak diragukan lagi bahwa kaidah ini sangat jelas.

Tentang Kelayakan

Kesimpulan prinsip ini ialah menjaga perasaan wajib pajak dan berlaku sopan terhadap mereka, sehingga dengan sukarela mereka akan menyerahkan pajak itu tanpa ada rasa ragu dan terpaksa karena suatu perlakuan yang kurang baik.

Dalam zakat hal ini sudah mendapat perhatian seperti halnya :

  • Perintah untuk memungut zakat dari harta yang kualitasnya pertengahan dan melarang memungut yang terbaik, misalnya ternak.

  • Nabi menyuruh tukang taksir agar memperkecil taksiran terhadap tanaman dan buah-buahan.

  • Bolehnya menangguhkan zakat karena ada satu sebab yang menghalangi, misalnya ketika terjadi wabah kelaparan.

  • Dll.

Tentang Faktor Ekonomis

Yang dimaksudkan disini adalah ekonomis dalam biaya pemungutan pajak dan menjauhi berbagai pemborosan. Jangan sampai bagian besar dari pajak yang terkumpul hanya habis terserap oleh petugas pajak. Islam sangat melarang pemborosan kepada harta pribadi seseorang, apalagi terhadap harta kepunyaan umum terutama lagi terhadap harta zakat. Diceritakan, bagaimana para petugas zakat berangkat untk mengumpulkan zakat, yang lalu dibagikan kepada yang berhak, sehingga ketika mereka pulang pun mereka tidak membawa apa-apa lagi. Jatah untuk para amilpun di batasi (maksimal 1/8 bagian)

Sari Penting Kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawy

Apakah Cukup Membayar Pajak Saja Tanpa Membayar Zakat?

Itu adalah suatu pertanyaan yang sering muncul diantara kita. Yang saat ini merasakan terbebani dua kewajiban sekaligus. Namun setelah mengkaji beberapa perbedaan antara pajak dan zakat maka dapat dimengerti bahwa zakat tidak dapat digantikan oleh pajak, walaupun sasaran zakat dapat dipenuhi sepenuhnya oleh pengeluaran dari pajak.

Zakat berkaitan dengan ibadah yang diwarnai dengan kemurnian niat karena Allah. Ini adalah tali penghubung seorang hamba dengan khaliqnya yang tidak bisa digantikan dengan mekanisme lain apapun. Zakat adalah mekanisme yang unik Islami, sejak dari niat menyerahkan, mengumpulkan dan mendistribusikannya. Maka apapun yang diambil negara dalam konteks bukan zakat tidak bisa diniatkan oleh seorang Muslim sebagai zakat hartanya. Demikian pula setiap pribadi Muslim wajib melaksanakannya walaupun dalam kondisi pemerintah tidak memerlukannya atau tidak mewajibkannya lagi.

Adalah suatu hal yang sangat berbahaya, bila kita diperbolehkan untuk mengganti zakat dengan pungutan-pungutan lainnya, niscaya hukum wajib zakat akan hilang dan sedikit demi sedikit akan sirna dari kehidupan setiap orang, seperti hal telah lenyapnya zakat dari undang-undang pemerintahan saat ini.

Sesungguhnya zakat tidak dapat dicukupi oleh pajak. Inilah pendapat yang akan menyelamatkan agama seorang Muslim, yang akan melestarikan kewajiban tersebut dan mengekalkan hubungan antara kaum Muslimin melalui zakat, sehingga zakat tidak dapt diganti dengan nama pajak dan tak dapat dihilangkan begitu saja. Benar orang Islam itu dibebani kesulitan dalam menanggung beban harta yang sebagian ini tidak dapat dipikulnya. Akan tetapi ini adalah kewajiban iman dan tuntutan Islam, khususnya dalam masa-masa cobaan (fitnah) yang membuat bimbang orang-orang penyantun dan orang yang memegang agama seperti orang yang menggenggam bara api.

Akhirnya kaum Muslimin berkewajiban untuk bekerja dan berjuang untuk memperbaiki penyimpanganpenyimpangan, meluruskan peraturan yang bengkok dan mengembalikannya pada jalan yang lurus dalam hukum Islam. Tanpa usaha tersebut orang Muslim akan dirugikan oleh harta, jiwa dan sosial, karena ia akan hidup dalam masyarakat yang membuatnya hidup terbelakang tanpa ada yang menolongnya, dan diam tanpa berbuat apa-apa. Dan ini merupakan cobaan umum dalam segala sektor kehidupan yang dituntut oleh Islam terhadap putera-puteri Islam agar tetap berpegang teguh pada syariat Islam, bukan hanya dalam soal zakat saja.

Sari Penting Kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawy

Zakat Dalam Islam Adalah Sistem Baru Dan Unik

Dari celah-celah seluruh bagian dan bab pada buku ini jelaslah kepada kita bahwa zakat diwajibkan mulamula di Madinah dan diterangkan batas-batas serta hukumnya, zakat adalah suatu sistem baru yang unik dalam sejarah kemanusiaan. Suatu sistem yang belum pernah ada pada agama-agama samawi juga dalam peraturan-peraturan manusia.

Zakat mencakup sistem keuangan, ekonomi, sosial, politik, moral dan agama sekaligus. Zakat adalah sistem keuangan dan ekonomi karena ia merupakan pajak harta yang ditentukan. Sebagai sistem sosial karena berusaha menyelamatkan masyarakat dari berbegai kelemahan. Sebagai sistem politik karena pada asalnya negaralah yang mengelola pemungutan dan pembagiannya. Sebagai sistem moral karena ia bertujuan membersihkan jiwa dari kekikiran orang kaya sekaligus jiwa hasud dan dengki orang yang tidak punya. Akhirnya sebagai sistem keagamaan karena menunaikannya adalah salah satu tonggak keimanan dan ibadah tertinggi dalam mendekatkan diri kepada Allah.

Zakat itu sendiri menjadi bukti bahwa ajaran Islam itu dari Allah SWT. Suatu sistem yang adil, yang tidak mungkin dihasilkan oleh Rasulullah Muhammad SAW yang ummi.

Inilah zakat yang disyariatkan Islam meskipun banyak kaum Muslimin pada masa akhir-akhir ini tidak mengetahui hakikatnya dan mereka melalaikan membayarnya, kecuali mereka yang disayangi Tuhannya dan jumlahnya sedikit.

Banyak pendapat baik yang dari kalangan Muslim maupun non Muslim, yang mengagumi indahnya konsepsi zakat sebagai pemecahan problematika sosial. Jika seandainya kaum Muslimin melaksanakan kewajiban ini dengan baik, tentu di kalangan mereka tidak akan ditemukan lagi orang-orang yang hidupnya sengsara. Akan tetapi kebanyakan dari mereka telah melalaikan kewajiban ini, mereka mengkhianati agama dan ummatnya, akibatnya nasib Ummat Islam sekarang ini lebih buruk dalam kehidupan ekonomi dan politiknya dari seluruh bangsa-bangsa lain di dunia ini.

Kekayaan, kebesaran dan kemuliaan Ummat Islam telah sirna. Kini mereka menjadi tanggungan penganut agama lain, sehingga pendidikan anak-anaknya pun diserahkan ke sekolah-sekolah missi kristen atau missi atheis. Bila mereka ditanya mengapa tidak mendirikan sendiri sekolah itu, mereka berkata: “kami tidak mempunyai biaya untuk mendirikannya”. Maka sebanarnya mereka tidak memperoleh dari agama; akal fikiran, cita-cita dan ghairah yang dengan itu mereka dapat melakukannya. Mereka menyaksikan para penganut agama lain yang berkorban untuk mendirikan sekolah-sekolah, organisasi-organisasi sosial dan politik, padahal tidak disuruh oleh agama mereka, tapi mereka diharuskan oleh akal fikiran dan ghairahnya terhadap agama dan kaumnya. Tapi pada kaum Muslimin ghairah itu telah tidak ada. Mereka rela menjadi beban dan tanggungan orang. Mereka telah meninggalkan agamanya sendiri, akibatnya mereka kehilangan dunianya sesuai dengan firman Allah : “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik” (59:9).

Yang menjadi kewajiban bagi para da’i saat ini ialah mulai mengadakan usaha membina mereka yang masih ada rasa keagamaannya dengan mendirikan organisasi pengumpulan zakat. Zakat yang dapat digunakan untuk konsolidasi ummat, memberantas kemiskinan, memperlancar aktivitas da’wah menahan agresi dari kaum kuffar. Bila seluruh kaum Muslimin menunaikan zakat dan digunakan secara teratur, maka Islam akan mampu untuk mengembalikan kejayaannya.

Ikhwan sekalian. Demikian berakhirlah Serial Mengaji Zakat. Tidak akan ada ujian tertulis dari Ustadz Yusuf. Tapi Allah akan menguji kita secara praktek. Setelah lebih jauh memahami kewajiban zakat, Insya Allah kita akan menjadi pionir-pionir Muslim yang dengan sikap taat melaksanakan perintah ini.

Lebih jauh lagi, bisakah kita berbuat sesuatu untuk meluaskan gerakan zakat ini, dengan menyadarkan orang-orang di sekitar kita; keluarga, teman sejawat, tetangga dll. Hal ini sangat mendesak. Memasyarakatkan kewajiban zakat bukan lagi sekedar tanggung jawab para ulama dan mubaligh, tapi adalah tanggung jawab kita semua yang telah mengetahui dan menjalankan kepada mereka yang belum mengetahui dan menjalankannya. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk ummat. Banyak kerja dalam masalah perzakatan ini yang menunggu sambutan Ikhwan sekalian. Menjajagi, merumuskan dan membuat pola mekanisme pengumpulan dan pendistribusian zakat yang effisien dan effektif, yaitu pola yang akan diterapkan dalam skala kecil maupun besar; membuat panduan yang lengkap dan jelas dalam perhitungan zakat; juga yang tidak kalah pentingnya merangsang pengajian-pengajian zakat dimana saja agar ummat Islam dimana saja senantiasa termotivasi dalam menjalankan rukun Islam ketiga ini, dll.

Semoga Allah memberikan kekuatan kepada kita semua, dan meridhoi aktivitas kita. Amiin.

Wassalamu’alaikum Wr Wb

Abu Azka, Lukman Mohammad Baga
Dept. of Agr. Economics and Business, Massey University
Palmerston North, New Zealand

Sari Penting Kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawy